Ilustrasi Green Inflation dan Pemanfaatan Energi Hijau. (Foto: Katadata)

Oleh: Dr Taufan Hunneman (Dosen UCIC, Cirebon)

ZNEWS.ID JAKARTA – Konsep green inflation dalam beberapa waktu terakhir acap terdengar sebagai respons terhadap berbagai problem lingkungan, utamanya perubahan iklim dan pemanasan global.

Selaras dengan meningkatnya kesadaran tentang arti penting keberlanjutan lingkungan,  antara lain diwujudkan dengan program transisi energi, elektrifikasi sektor transportasi, serta pengelolaan limbah agar lebih ramah lingkungan.

Namun, transisi energi membutuhkan biaya teramat besar, sebagaimana dialami Indonesia saat ini, yang pemanfaatan energi terbarukan masih terhitung rendah dibanding potensinya, mengingat ketiadaan investasi.

Dampak dari tingginya biaya pengembangan energi terbarukan, kemudian diikuti dengan naiknya harga-harga barang dan jasa yang terkait dengan proses produksi dan distribusi yang ramah lingkungan, kemudian tercipta situasi yang kemudian dikenal sebagai green inflation (greenflation).

Penyebab utama dari green inflation mencakup biaya transisi yang tinggi menuju ekonomi hijau, yang acap kali memerlukan investasi besar dalam infrastruktur hijau, teknologi baru, dan proses produksi yang lebih ramah lingkungan.

Selain itu, lonjakan harga energi terbarukan juga berkontribusi pada green inflation, walaupun energi terbarukan seperti tenaga surua dan angin menjadi lebih terjangkau dan efisien, bahwa investasi awal dalam infrastruktur dan teknologi energi terbarukan masih dapat meningkatkan biaya produksi.

Dalam menghadapi tantangan menuju ekonomi hijau, green inflation muncul sebagai salah satu kendala yang perlu diatasi secara efektif.

Meskipun adopsi praktik bisnis yang ramah lingkungan mendukung keberlanjutan lingkungan, kenaikan harga sebagai akibat dari green inflation dapat menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan bagi produsen dan konsumen.

BACA JUGA  Dibina Zona Madina, Kripik Ubi Itoh Kini Merambah Banyak Toko dan Minimarket

LEAVE A REPLY