Oleh: Thobib Al-Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag)
ZNEWS.ID JAKARTA – Sering kita mendengar, orang tua lanjut usia itu merepotkan orang lain. Secara fisik mereka sudah semakin ringkih. Mudah sakit karena faktor anggota tubuh yang mulai menurun fungsinya. Ada yang bilang, saat kecil disebut bayi, saat usia lanjut disebut “bayek” atau “bayi tuek” (bayi besar).
Siklus kehidupan manusia memang berputar dan seperti itu. Demikian halnya secara psikologis. Mereka semakin sensitif, mudah tersinggung, sebagian terkena pikun, dan stres berkepanjangan akibat “post power syndrom”.
Karena perkembangan fisik dan psikologisnya yang membutuhkan intervensi khusus, maka di berbagai budaya tertentu, seperti di Jepang maupun di Barat, mereka banyak ditempatkan di panti-panti jompo agar mendapatkan perawatan yang layak.
Dibandingkan hidup bersama keluarganya yang muda, mereka akan merasa kesepian karena tidak dalam lingkup “peer group”. Di dunia Barat, jika lansia berada di rumah-rumah bersama anak dan cucu mereka dianggap menyia-nyiakan hak-hak lansia karena mereka akan mengalami alienasi akibat relasi sosial yang tidak seimbang.
William James, ilmuan yang mendalami psikologi agama, pernah menyatakan bahwa usia tua adalah fase di mana pengalaman keagamaan seseorang mencapai puncaknya. Hal ini disebabkan karena pada tahap ini, gejolak kehidupan sudah berkurang, dan perhatian seseorang lebih banyak tertuju pada hal-hal esensial dalam hidup, termasuk pencarian makna spiritual.
Robert H. Thouless juga menemukan bahwa orang yang sudah melewati masa-masa penuh tantangan cenderung semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada awalnya, hubungan seseorang dengan Tuhan sering kali dipenuhi oleh rasa takut akan dosa dan kesalahan masa lalu.
Namun, seiring waktu, perasaan itu berubah menjadi ketenangan dan cinta yang mendalam kepada Tuhan. Inilah yang dialami oleh para sufi dalam perjalanan spiritual mereka, ketika akhirnya mencapai tahapan mahabbah, cinta Ilahi, di mana seluruh hidup mereka dipersembahkan sepenuhnya untuk Tuhan.
James Fowler, seorang psikolog perkembangan, menjelaskan bahwa keimanan manusia juga mengalami tahapan perkembangan seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia lanjut, mereka yang telah melalui berbagai pengalaman hidup bisa mencapai tahap tertinggi dalam perkembangan keimanan, yaitu “universalizing faith”.
Fase tersebut ditandai dengan kesadaran bahwa semua manusia terhubung dalam satu kesatuan spiritual yang melampaui batas agama, budaya, dan identitas sosial. Keimanan tidak lagi menjadi sekadar identitas, tetapi sebuah kesadaran akan hakikat hidup yang lebih luas.
Orang-orang yang mencapai tahap ini tidak lagi berfokus pada kepentingan pribadi, melainkan lebih banyak mengabdikan diri pada nilai-nilai universal seperti kasih, keadilan, dan perdamaian.
Di tahap ini pula, seseorang tidak lagi terikat pada dogma tertentu, tetapi menerima segala sesuatu dengan ketulusan dan kedamaian batin. Mereka memahami bahwa kehidupan adalah rangkaian pembelajaran yang membentuk kebijaksanaan.
Hal ini membuat mereka sering menjadi sosok yang dihormati dan dijadikan sumber inspirasi, seperti Jalaluddin Rumi, Mahatma Gandhi, dan Ibu Teresa. Keimanan mereka bukan hanya terlihat dalam ritual, tetapi juga dalam sikap hidup yang penuh keteladanan dan kelembutan.
Namun, tidak semua orang mencapai tahap ini. Banyak yang tetap berada pada fase sebelumnya, yaitu “Conjunctive Faith”, di mana mereka mulai lebih kritis terhadap keyakinan mereka dan berusaha memahami berbagai perspektif.
Tahap “Universalizing Faith” hanya dicapai oleh sedikit orang yang benar-benar telah melewati berbagai pengalaman hidup dan menemukan kedamaian sejati dalam spiritualitas mereka.
Dalam banyak budaya, lansia dihormati sebagai penjaga nilai-nilai moral dan spiritual. Namun, di zaman modern, sering kali mereka justru diabaikan. Padahal, mereka adalah sumber kebijaksanaan yang dapat menjadi panutan bagi generasi muda.
Mereka telah melihat begitu banyak perubahan dalam hidup, mengalami pasang surut kehidupan, dan memahami bahwa di atas segala perbedaan ada nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga.
Karena itu, mendampingi mereka dalam perjalanan spiritualnya bukan hanya kewajiban, tetapi juga kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan kebijaksanaan mereka.
Sebagaimana manusia mengalami pertumbuhan sejak lahir, mereka juga mengalami perkembangan dalam keimanan. Bagi mereka yang mencapai tahap “universalizing faith”, hidup bukan lagi tentang diri sendiri, tetapi tentang kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Mereka menjadi pribadi yang penuh kasih, bijaksana, dan menerima kehidupan dengan kedamaian. Keimanan mereka telah melampaui batas-batas agama dan perbedaan sosial, menuju kesadaran akan keterhubungan yang lebih luas.
Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya belajar dan menghormati mereka (kalangan lansia), karena dalam kebijaksanaan mereka tersembunyi banyak pelajaran berharga tentang kehidupan dan spiritualitas. Apalagi menghormati orang tua yang sudah lanjut usia menjadi tugas agama, seperti disebut dalam hadis Nabi:
“Sesungguhnya di antara bentuk pengagungan kepada Allah adalah menghormati orang Muslim yang sudah beruban (lansia), menghormati penghafal Al-Qur’an yang tidak berlebihan dan tidak berpaling darinya, serta menghormati pemimpin yang adil.” (HR Abu Dawud)
Sumber: Kemenag