Ilustrasi Manusia dan Peran Agama Menurut Ibnu Khaldun. (Foto: Istimewa)

Oleh: Thobib Al-Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag)

ZNEWS.ID JAKARTA – Sepanjang sejarah peradaban, manusia terus mencari jawaban atas pertanyaan fundamental, siapakah manusia sebenarnya? Manusia bertanya tentang dirinya? Para ilmuwan, baik dari Timur maupun Barat, telah menulis ribuan buku untuk memahami hakikat manusia. Namun, hingga kini pemahaman mereka masih bersifat parsial.

Dalam berbagai kitab suci, terutama Al-Qur’an, hakikat manusia telah dijelaskan secara komprehensif, mulai dari proses penciptaan, sifat-sifat uniknya, hingga tanggung jawabnya setelah kematian. Para filosof, psikolog, dan sosiolog muslim juga telah banyak meneliti dan menguraikan sifat manusia secara utuh dalam berbagai kitab klasik.

Salah satu pemikir besar yang membahas watak manusia adalah Ibnu Khaldun. Dia adalah sosiolog kenamaan asal Tunis yang menulis kitab berjudul “Muqaddimah”. Menurutnya, watak manusia terbagi ke dalam tiga kategori utama.

Pertama, watak manusia yang sesuai dengan fitrahnya, yakni keadaan alami yang dibawanya sejak lahir. Kedua, watak manusia yang bersifat dualistik, yang mengandung unsur baik dan buruk. Ketiga, watak manusia yang cenderung agresif, yang muncul dari sisi kebinatangan dalam dirinya.

Ibnu Khaldun menempatkan fitrah sebagai ukuran utama dalam menilai kebajikan manusia, baik secara individu, kelompok, maupun dalam masyarakat. Menurutnya, semakin dekat suatu kelompok dengan keadaan alami atau primitifnya, semakin tinggi tingkat kebajikan mereka. Dalam hal ini, ia mengacu pada konsep “ashabiyah”, yaitu solidaritas kelompok yang sering menjadi faktor penentu dalam peradaban manusia.

Pandangan ini sejalan dengan hadis Nabi, yang menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah dan memiliki kecenderungan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad.

“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (dengan keimanan sejati untuk tidak menyembah apa pun kecuali Allah semata), tetapi orang tua merekalah yang mengubah mereka menjadi seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari)

Konsep Ibnu Khaldun ini dalam tinjauan psikologi sesuai dengan aliran konvergensi, yaitu manusia berkembang dari dua unsur internal atau native (fitrah) dan eksternal (lingkungan). Kedua saling melengkapi dan memengaruhi hingga manusia akan menjadi individu unik sesuai dengan kecenderungan yang ada.

Ibnu Khaldun juga menyoroti aspek dualistik dalam watak manusia. Ia berpandangan bahwa manusia memiliki sifat baik dan jahat (takwa dan fujur) yang selalu berkonflik di dalam dirinya. Kejahatan, menurutnya, adalah sifat bawaan manusia yang akan semakin dominan jika tidak dikendalikan oleh norma dan ajaran agama. Hal ini mengacu pada firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS Asy-Syams: 7-8)

Konflik antara sisi baik dan buruk dalam diri manusia mencerminkan watak dinamis yang terus mengalami pergulatan batiniah. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa tanpa kontrol moral dan agama, manusia cenderung jatuh ke dalam kebuasan dan ketidakadilan.

Ia menyatakan bahwa agresi bukan hanya muncul sebagai respons terhadap ancaman, tetapi juga bisa terjadi karena kebiasaan dan dorongan nafsu. Salah satu contohnya adalah kecenderungan manusia untuk mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak adil.

Dalam pandangan Ibnu Khaldun, sifat kebinatangan dalam diri manusia dapat menghambat perkembangan individu dan masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya agama sebagai sistem kehidupan yang menjaga keseimbangan antara fitrah manusia dan naluri kebinatangannya.

Islam hadir sebagai pedoman yang menuntun manusia untuk tetap berada dalam jalur fitrah yang lurus dan menghindari kehancuran akibat dominasi sifat agresifnya.

Dengan demikian, pemahaman tentang watak manusia menurut Ibnu Khaldun memberikan wawasan mendalam tentang hakikat diri manusia. Ia bukanlah makhluk yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat, tetapi entitas yang terus berjuang dalam dinamika fitrah, nafsu, dan akalnya.

Islam hadir sebagai pedoman utama yang menuntun manusia agar tetap berada dalam keseimbangan, menjalani hidup sesuai dengan fitrahnya, dan mencapai kesempurnaan spiritual yang hakiki.

Sumber: Kemenag

LEAVE A REPLY