Oleh: Dr Destika Cahyana, SP MSc (peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional)
ZNEWS.ID JAKARTA – Dampak perubahan iklim terasa begitu kontras dalam dua tahun belakangan. Baru saja kita menghadapi el-nino membuat air sumur mengering dan sawah kering kerontang, hingga petani menghadapi kendala memproduksi beras.
Di sisi lain, ketika musim hujan datang, air merendam 75 desa, termasuk 2.907 sawah di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Kekeringan dan banjir datang silih berganti. Air menjadi sesuatu yang paling dirindu di kala langka, sekaligus paling dicemaskan ketika berlebihan.
Seperti diketahui jumlah air di Bumi itu tetap. Ia hanya berubah bentuk, warna, rasa, dan tempat, mengikuti proses alami yang disebut siklus air atau siklus hidrologi.
Manusia dapat mengambil air secara langsung, dalam arti mengonsumsi air tawar dengan kualitas baku tertentu. Di luar itu air bermanfaat untuk manusia secara tidak langsung.
Sebut saja air hujan dan irigasi untuk pertanian maupun air sungai untuk transportasi. Dalam berbagai bentuknya air bermanfaat bagi manusia dalam menyediakan jasa bagi kehidupan ekosistem di Bumi.
Berdasarkan wataknya yang bermanfaat dalam jumlah tertentu, maka pengelolaan air menjadi penting. Ia tak boleh berlebih atau kekurangan di suatu tempat, pada waktu tertentu.
Ilmu mengelola air menjadi hal penting yang tak hanya dimiliki oleh peneliti, praktisi, dan warga masyarakat, tetapi oleh para pengambil kebijakan di setiap level kepemimpinan, dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi.
Masyarakat lokal, bahkan seringkali memiliki kelembagaan berbasis air, seperti masyarakat Bali yang memiliki kelembagaan Subak, berdasarkan sumber air yang sama.
Subak merupakan sistem pengairan masyarakat Bali yang menggunakan hukum adat pada kegiatan sosial-pertanian-keagamaan, dengan tekad dan semangat gotong royong untuk menjaga air untuk memenuhi kebutuhan air dalam menghasilkan tanaman pangan, terutama padi dan palawija.