Ilustrasi Hari Bumi. (Foto: Unsplash)

Oleh: Dr Destika Cahyana SP MSc (Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, BRIN)

ZNEWS.ID JAKARTA – Sejarah telah mencatat hubungan manusia dengan Bumi di berbagai belahan Bumi sejak masa silam hingga era modern. Mitologi Yunani di masa lampau menempatkan Bumi secara sakral dengan membuat personifikasi sebagai Dewi Gaia yang dihormati.

Gaia disebut juga dengan ibu dari semua dan ibu pertama. Di tanah Nusantara, Bumi memiliki nama lain Ibu Pertiwi. Di bagian timur Indonesia, tepatnya di Papua, Bumi juga dipanggil dengan sebutan papa dan mama.

Dewi Sri yang di Indonesia dikenal sebagai Dewi Padi, sesungguhnya dikenal juga sebagai Dewi Bumi. Tiga puluh satu tahun silam, Sindhunata pernah menulis bahwa Dewi Sri tidak sekadar Dewi Padi tetapi Dewi Pertanian, bahkan Dewi Bumi.

Dewi Sri melahirkan kelapa, padi, pepaya, aren, mangga, ubi, dan ketela. Bumi, bagi Sindhunata, bagaikan wanita yang memberi kehidupan dan kesuburan bagi semua makhluk hidup yang puncaknya untuk kehidupan manusia.

Penggambaran Bumi sebagai dewa, dewi, ibu, papa, dan mama menunjukkan bahwa Bumi dalam perjalanan sejarah manusia begitu sakral. Beragam tradisi meyakini bahwa manusia dan seluruh kehidupan makhluk hidup berasal dari Bumi.

Pada masa lalu, manusia menjaga Bumi dengan menjaga sumber daya di atasnya seperti hutan, padang rumput, bukit, dan gunung. Hingga pada akhirnya terjadi desakralisasi Bumi karena kehidupan di dunia modern yang semakin mekanistik.

Hal tersebut semakin parah karena paradigma sistem ekonomi yang dianut dunia adalah sistem ekonomi linear yang bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan manusia.

Kini, di kebanyakan kepala manusia, Bumi tak lagi dianggap sakral. Bumi benar-benar menjadi independen seperti bukan bagian dari manusia. Bumi menjadi objek yang dapat digunakan manusia sesukanya.

BACA JUGA  Bareng Dompet Dhuafa, Chiki Fawzi Tebar Hewan Kurban di Timor Leste

LEAVE A REPLY