
ZNEWS.ID JAKARTA – Pandemi Covid-19 tak sekadar menjadi bencana kesehatan. Namun, bisa juga menyebabkan bencana ganda. Bahkan majemuk. Salah satunya adalah bencana ekonomi yang akhirnya memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Berdasarkan data aduan Layanan Psikologi Sehat Jiwa (Sejiwa) yang masuk ke nomor layanan pengaduan Kemen PPPA, pada 10 – 22 Mei 2020, terdapat 453 kasus kekerasan. Dari 453 kasus, 227 di antaranya merupakan kasus KDRT. Sebanyak 211 laporan KDRT dilakukan oleh suami terhadap istri dan anak-anak.
KDRT tidak hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan instrumental dan intervensi negara, namun juga dibutuhkan pendekatan secara keagamaan.
Oleh karenanya, peran para tokoh agama dan organisasi keagamaan di tengah pandemi Covid-19 menjadi penting untuk memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat.
“Tokoh agama dan organisasi keagamaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat pada umumnya dan kepada umat masing-masing agama pada khususnya,” ujar Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan, melalui keterangan tertulis, Kamis (4/6/2020).
Menurut Indra, tokoh agama dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai stigma yang muncul terkait Covid-19.
Di samping itu, tokoh agama juga dapat memberikan rasa tenang, nyaman, dan mendorong masyarakat untuk selalu berdoa dan bersabar di tengah pandemi Covid-19.
Indra menambahkan, dalam memberikan dukungan psikososial, para tokoh agama dan lembaga keagamaan dapat bekerja sama dengan unit yang menangani perempuan dan anak atau Unit PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang ada di daerah.
“Kami berharap, para tokoh agama dan organisasi keagamaan dapat menjalin kerja sama atau sinergi dengan Unit PPPA dan lembaga masyarakat lainnya dalam memberikan dukungan psikososial,” kata Indra.
Sementara, Perwakilan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid, menjelaskan bahwa KDRT di masa pandemi Covid-19 tidak secara tiba-tiba muncul. Hal ini bergantung pada pilar atau pondasi yang sudah dibangun oleh keluarga sebelumnya.
Alissa mengatakan bahwa ada beberapa tekanan psikososial ekonomi selama pandemi Covid-19 yang memicu adanya KDRT, di antaranya mata pencaharian (livelihood) yang menurun drastis, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal dan tidak bisa mengandalkan gaji bulanan.
Selain itu, adanya ketidakpastian di masa depan, relasi kuasa (berbasis gender, utamanya antara suami istri), dan keterbatasan ruang pribadi akibat harus berbagi ruang dengan anggota keluarga lainnya selama di rumah saja.
“Jika keluarga tidak bisa beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik, maka semua ini akan memicu emosi negatif dan akhirnya menyebabkan KDRT,” kata Alissa.
Menurutnya, budaya patriarki yang selama ini mengakar di masyarakat memberi ruang yang sangat besar untuk terjadinya KDRT.
Beberapa faktor lainnya yang selama ini memicu terjadinya KDRT di antaranya karena ketidakmampuan mengelola hubungan yang memberdayakan (ketidakmampuan mengelola permasalahan), adanya relasi kuasa, kurang matangnya pasangan (keseimbangan antara memperjuangkan hak pribadi dengan tenggang rasa atas hak orang lain), dan kurangnya pembekalan mengelola dinamika perkawinan.
Oleh karenanya, Alissa mengajak tokoh agama dan organisasi keagamaan turut andil membina para umatnya, termasuk keluarga agar memiliki pilar atau pondasi yang kuat.
“Agama menolak kekerasan. Kekuatan agama untuk membina keluarga selaras dengan ketika agama membina umatnya sehingga ini yang menyebabkan tokoh agama memiliki peran yang sangat besar untuk mendampingi umatnya, termasuk keluarga,” terang Alissa.
Salah satu anggota FORLAPPA, Anil Dawan, mengatakan bahwa para tokoh agama dan lembaga agama mampu berkontribusi dalam pencegahan Covid-19 dan mendampingi para umat untuk memberikan dukungan psikologis awal.
“Para tokoh agama sebaiknya memiliki kemampuan untuk memberikan pemahaman ayat-ayat dalam kitab suci untuk menjelaskan situasi yang terjadi,” kata Anil.
Dalam hal ini, penanggulangan Covid-19 dan nilai-nilai kemanusiaan untuk kepentingan bersama, membangun ketangguhan umat dalam menghadapi pandemi Covid-19, serta melakukan sosialisasi pencegahan dan strategi penanganan Covid-19 dan rujukannya dengan Tim Gugus Tugas.
“Tokoh agama juga sebaiknya mampu memahami bahwa jemaah, umat, dan penyintas dapat mengalami dampak negatif Covid-19. Oleh karena itu, penting untuk mengaplikasikan Dukungan Psikologis Awal (DPA) dan konseling untuk kesehatan jiwa/mental. Pendampingan tersebut dapat dilakukan melalui media online atau virtual,” terang Anil.
Editor: Agus Wahyudi