Ilustrasi: Guru Konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia (KAWAN SLI) Dompet Dhuafa. (Foto: Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)

Oleh: Fajar Subhi (PM Bakti Nusa 9 Jakarta)

“Menjadi Guru lebih baik daripada tidak ngapa-ngapain. Tapi, kok, malah dirundung pilu?”

ZNEWS.ID JAKARTA – Semua sudah sepakat bahwa pendidikan adalah hal utama dalam berkehidupan di suatu negara. Ihwal yang terkandung di dalam substansi pendidikan perlu diperhatikan dengan seksama. Tanggung jawab ada di tangan negara, namun bukan berarti orang-orang di sekitar tidak memedulikannya—turut bertanggung jawab bersama.

Negara secara struktur memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan ruang terhadap masyarakatnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Pendidikan adalah alat dan cara untuk berkehidupan sosial. Ki Hadjar Dewantara memaknai pendidikan sebagai upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak.

Pendidikan tidak sekadar ketika seorang murid mendapatkan suatu ajar dari seorang guru. Dan, menyampaikan poin-poin ajar yang wajib disampaikan oleh seorang guru dari kurikulum pelajaran yang ada.

Namun, lebih dari itu bahwa hubungan, komunikasi, kontak sosial, interaksi dan sebagainya, antara guru dengan murid adalah hal yang penting. Apa yang tengah terjadi di Indonesia saat ini? Khususnya dalam kasus interaksional guru dengan murid.

Kehadiran guru di kelas menjadi sentral daripada murid dalam pembelajaran kesehariannya—pun tergantung dari tingkat jenjang pendidikannya. Namun, berbagai masalah seperti kekerasan dan sejenisnya, terjadi saat di dalam kelas maupun di luar kelas.

Baik itu yang dilakukan oleh guru, bahkan sebaliknya. Hal yang menjadi tren saat ini ketika murid dapat melakukan sesuatu hal yang buruk terhadap guru.

LEAVE A REPLY