Ilustrasi. (Foto: Istockphoto)

Oleh: Muhammad Fauzinuddin Faiz (Wakil Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi NU PWNU Jawa Timur dan Dosen UIN KHAS Jember)

ZNEWS.ID JAKARTA – Setiap muslim yang menggenapkan usianya dengan hitungan tahun pasti tak asing dengan ritual tahunan berpuasa di bulan Ramadan. Bulan yang datang dengan sejuta berkah dan harapan.

Namun, di balik ritual menahan lapar dan dahaga dari terbit hingga terbenamnya matahari, tersembunyi makna yang jauh lebih dalam—latihan spiritual yang didesain sebagai medan pertempuran melawan musuh terbesar manusia: hawa nafsu.

Dalam khazanah Islam, perang melawan hawa nafsu (jihad an-nafs) bukanlah perkara sepele. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai “jihad akbar” atau perang terbesar. Pernyataan yang mengejutkan mengingat pada masa itu, peperangan fisik dengan pedang dan tombak adalah hal yang lumrah. Lalu, mengapa perang tanpa darah melawan diri sendiri justru dianggap lebih berat?

Menariknya, pandangan serupa juga ditemukan dalam tradisi pemikiran di luar Islam. Sun Tzu, sang jenderal legendaris Tiongkok kuno dalam kitab “Art of War” menyatakan, “Mengetahui musuh dan mengetahui dirimu, dalam seratus pertempuran kau tidak akan pernah berada dalam bahaya. Ketika kau tidak mengetahui musuh tetapi mengetahui dirimu, peluangmu untuk menang atau kalah sama besarnya.

Jika kau tidak mengetahui baik musuh maupun dirimu, kau akan selalu berada dalam bahaya.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pertempuran terberat adalah melawan ketidaktahuan akan diri sendiri—sebuah bentuk perang batin yang jauh lebih kompleks dibanding mengalahkan musuh eksternal.

Imam Al-Ghazali, dalam kitab monumentalnya “Ihya Ulumuddin,” memberikan jawaban yang menohok: “Musuh yang paling berbahaya adalah yang berada dalam jubahmu sendiri, yaitu nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu.”

Pernyataan ini bukan sekadar metafora, tetapi realitas yang dihadapi setiap manusia. Nafsu adalah musuh yang tak pernah tidur, tak pernah absen, dan ironisnya, justru menjadi bagian dari diri kita sendiri.

Di sinilah puasa hadir sebagai perisai terkuat dalam perang melawan hawa nafsu. Sebuah ibadah yang kelihatannya sederhana—menahan makan, minum, dan syahwat selama beberapa jam—ternyata menyimpan kekuatan luar biasa dalam membentuk pertahanan spiritual.

Puasa dan Paradoks Eksistensial Manusia

Manusia adalah makhluk paradoksal. Di satu sisi, ia memiliki ruh yang mendambakan kesucian dan ketinggian spiritual. Di sisi lain, ia juga memiliki jasad dengan segala keinginan duniawinya. Pertarungan abadi antara dua dimensi inilah yang menjadikan perang melawan hawa nafsu begitu kompleks dan melelahkan.

Ibnu Miskawayh, seorang filsuf Muslim terkemuka, melihat manusia sebagai entitas yang terjebak dalam pertarungan eksistensial antara “diri yang lebih rendah” (nafs al-ammarah) dan “diri yang lebih tinggi” (nafs al-mutma’innah). Puasa, dalam perspektif ini, bukanlah sekadar ritual keagamaan, tetapi sebuah mekanisme untuk menegaskan dominasi ruh atas jasad, akal atas nafsu.

Ketika seseorang berpuasa, ia secara sadar menundukkan keinginan primernya—makan dan minum—demi ketaatan pada perintah Allah. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap ego yang paling dasar. Tanpa disadari, latihan sederhana ini melatih seseorang untuk tidak menjadi budak nafsunya sendiri.

Dalam konteks modern, di mana konsumerisme dan hedonisme menjadi gaya hidup dominan, puasa menjadi semakin relevan. Masyarakat kita telah terbiasa dengan kepuasan instan dan pemenuhan keinginan tanpa penundaan.

Segala sesuatu dirancang untuk memanjakan nafsu—dari makanan cepat saji hingga hiburan yang tersedia 24 jam. Dalam lingkungan seperti ini, puasa hadir sebagai bentuk perlawanan budaya, sebuah pernyataan bahwa manusia bisa dan harus mengendalikan nafsunya, bukan sebaliknya.

Paradoks identitas manusia juga tercermin dalam bagaimana puasa memaksa kita menghadapi kenyataan bahwa kita sekaligus adalah subjek dan objek dalam perang ini. Jalaluddin Rumi, penyair sufi terkenal, menggambarkannya dengan indah: “Musuhmu bukanlah orang di luar sana yang bisa kau hindari atau kalahkan. Musuhmu adalah dirimu sendiri yang mengenakan topeng keinginan dan nafsu.”

Puasa membuka topeng ini, memperlihatkan wajah asli musuh kita, dan memberikan kita kesempatan untuk menghadapinya secara langsung.

Lebih jauh lagi, puasa mengajarkan kita tentang relativitas kebutuhan. Apa yang kita anggap sebagai “kebutuhan” seringkali hanyalah “keinginan” yang tersamarkan. Ketika berpuasa, kita menyadari bahwa kita bisa bertahan tanpa makan atau minum selama berjam-jam. Realisasi sederhana ini membuka pintu kesadaran bahwa banyak hal yang kita kejar dengan obsesif sebenarnya tidak esensial.

Dalam praktiknya, puasa juga mengajarkan tentang kesadaran penuh (mindfulness). Orang yang berpuasa menjadi lebih sadar akan apa yang ia konsumsi, kapan, dan mengapa.

Setiap tindakan makan dan minum menjadi tindakan yang disengaja dan disadari, bukan sekadar kebiasaan otomatis. Kesadaran ini kemudian dapat ditransfer ke area kehidupan lain, membantu seseorang menjadi lebih waspada terhadap godaan nafsu dalam berbagai bentuknya.

Puasa dan Dialektika Spiritualitas

Jihad melawan hawa nafsu memiliki beberapa tingkatan. Puasa tidak hanya beroperasi pada tingkat menahan nafsu makan dan minum, tetapi juga melatih pengendalian terhadap lima indera dan pikiran. Ini adalah proses dialektis di mana pengendalian fisik menyebabkan pengendalian mental, yang pada gilirannya memperkuat pengendalian fisik.

Dalam dialektika spiritualitas, puasa juga menciptakan ruang untuk transformasi energi. Al-Qushayri, seorang ulama sufi, menekankan bahwa tujuan jihad an-nafs bukanlah untuk menghancurkan nafsu—yang memang tidak mungkin—tetapi untuk mengarahkannya ke saluran yang konstruktif. Puasa adalah salah satu mekanisme utama dalam proses sublimasi ini.

Ketika energi yang biasanya digunakan untuk mencerna makanan berkurang selama puasa, energi tersebut tersedia untuk aktivitas spiritual dan intelektual. Banyak orang melaporkan kejernihan pikiran yang luar biasa selama berpuasa. Ini bukan kebetulan, tetapi hasil dari redistribusi energi fisik ke ranah mental dan spiritual.

Fenomena ini memiliki dasar ilmiah. Penelitian modern menunjukkan bahwa puasa dengan pola tertentu dapat meningkatkan fungsi kognitif dan mengurangi peradangan dalam tubuh. Di luar manfaat kesehatan, efek ini memiliki dimensi spiritual—tubuh yang lebih sehat menjadi instrumen yang lebih baik untuk jiwa yang berusaha mencapai kesempurnaan.

Imam Ar-Raghib Al-Isfahani dalam kitabnya “Az-Zari’ah ila Makarim Asy-Syari’ah” melihat puasa sebagai latihan berkelanjutan yang tidak pernah selesai. Ini sejalan dengan pemahaman filosofis bahwa dalam perang melawan hawa nafsu, tidak ada kemenangan absolut. Yang ada hanyalah perjuangan berkelanjutan dan peningkatan bertahap.

Konsep ini sangat berbeda dengan pemahaman modern tentang pencapaian yang sering berorientasi pada hasil akhir. Dalam dialektika spiritualitas, proses itu sendiri adalah tujuannya. Setiap hari puasa adalah sebuah pencapaian, terlepas dari apa yang terjadi pada hari-hari sebelumnya atau yang akan datang.

Dimensi kolektif dari puasa juga tidak boleh dilewatkan. Ketika seluruh umat Islam berpuasa secara bersamaan, tercipta sebuah solidaritas spiritual. Orang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat biasa, semua merasakan lapar dan dahaga yang sama. Ini adalah pengingat kuat tentang kesamaan fundamental semua manusia di hadapan Allah, terlepas dari status sosial atau ekonomi.

Dimensi kolektif ini juga menciptakan akuntabilitas sosial. Dalam masyarakat yang seluruhnya berpuasa, pelanggaran akan lebih sulit dilakukan dan lebih mudah dideteksi. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang halus namun efektif, yang membantu individu mempertahankan komitmen mereka.

Namun, dialektika spiritualitas puasa juga mengajarkan tentang bahaya riya’ (pamer) dan ujub (sombong). Ibadah yang seharusnya menjadi jalan untuk meningkatkan spiritualitas bisa berubah menjadi sarana untuk memanjakan nafsu aktualisasi diri dan pengakuan sosial.

Inilah mengapa puasa disebut sebagai ibadah rahasia antara hamba dan Tuhannya—tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah.

Dalam konteks ini, puasa adalah latihan dalam keikhlasan (ikhlas), kebajikan yang menurut para filsuf etika Islam adalah yang paling sulit dicapai. Ketika seseorang berpuasa tanpa pengawasan eksternal, ia belajar untuk bertindak semata-mata karena ketaatan kepada Allah, bukan untuk pujian atau pengakuan manusia.

Dimensi filosofis lain dari puasa adalah konsep “ketiadaan” (fana) dan “keberadaan” (baqa). Dalam terminologi sufi, fana berarti pelenyapan ego, sementara baqa berarti keberlangsungan dalam ketuhanan.

Puasa adalah praktik konkret dari konsep abstrak ini. Dengan menahan diri dari makanan dan minuman—simbol kebutuhan ego—seseorang secara simbolis “melenyapkan” dirinya untuk “hadir” dalam relasi yang lebih dalam dengan Tuhan.

Dialektika spiritualitas puasa juga tercermin dalam bagaimana ibadah ini memadukan aspek fisik dan metafisik. Di satu sisi, puasa adalah tindakan fisik—menahan diri dari makan dan minum.

Di sisi lain, ia memiliki tujuan metafisik—mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai takwa. Perpaduan inilah yang menjadikan puasa sebagai ibadah yang holistik, melibatkan seluruh dimensi manusia.

Dalam dimensi praktis, puasa juga mengajarkan tentang manajemen waktu dan prioritas. Dalam kerangka waktu yang terbatas untuk sahur dan berbuka, seseorang belajar untuk mengoptimalkan waktunya. Ini adalah latihan dalam hidup yang lebih terstruktur dan disiplin, kualitas yang sangat diperlukan dalam perang melawan hawa nafsu.

Lebih dari sekadar pengendalian diri, puasa juga mengajarkan tentang kedermawanan dan empati. Merasakan lapar secara langsung membuat seseorang lebih memahami penderitaan mereka yang kelaparan bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan. Pemahaman ini idealnya diterjemahkan menjadi tindakan nyata membantu mereka yang kurang beruntung.

Seneca, filsuf Romawi, menulis dalam “Letters from a Stoic”, “Adalah bodoh untuk takut pada apa yang tidak dapat kau hindari.” Dia menganjurkan praktik “kemiskinan sementara” di mana orang kaya sesekali hidup seperti orang miskin—tidur di kasur keras, mengenakan pakaian kasar, dan makan makanan sederhana—untuk menghargai apa yang mereka miliki dan mempersiapkan diri menghadapi nasib buruk.

Puasa adalah versi Islami dari praktik filosofis ini, yang mengajarkan kerendahan hati dan ketahanan melalui pengalaman langsung akan keterbatasan.

Dalam kerangka filosofis yang lebih luas, puasa menantang paradigma materialistik dan hedonistik yang dominan dalam masyarakat modern. Ia menawarkan alternatif di mana nilai tidak diukur dari apa yang dimiliki atau dikonsumsi, tetapi dari kemampuan untuk menahan diri dan memberikan.

Pada akhirnya, puasa adalah latihan dalam kerendahan hati (tawadhu). Ketika lapar dan haus, manusia diingatkan akan keterbatasan dan kerapuhannya. Bahkan kebutuhan paling dasar seperti makan dan minum tidak bisa dipenuhi sendiri tanpa berkah dari Allah.

Kesadaran ini meluruhkan kesombongan dan keangkuhan, sifat-sifat yang menurut Al-Ghazali adalah manifestasi paling berbahaya dari hawa nafsu.

Dalam perang melawan hawa nafsu, puasa adalah strategi yang telah teruji waktu. Selama berabad-abad, jutaan muslim telah menjalani ritual ini dan merasakan dampak transformatifnya. Di era modern yang mengedepankan kepuasan instan dan konsumsi berlebihan, puasa menjadi semakin relevan sebagai bentuk perlawanan spiritual dan budaya.

Namun, seperti semua strategi, efektivitas puasa bergantung pada bagaimana ia dilaksanakan. Puasa yang hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tanpa upaya untuk menahan diri dari godaan lain seperti marah, bergosip, berbohong, laku koruptif adalah puasa yang kehilangan esensinya.

Sumber: Kemenag

LEAVE A REPLY