Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie (Praktisi Lembaga Pengembangan dan Investasi Wakaf Dompet Dhuafa)

ZNEWS.ID JAKARTA – “Wakaf sebagai gaya hidup,” rasanya tagline ini sudah sering kita dengar dalam berbagai kesempatan kampanye wakaf. Pertanyaan kritisnya, apakah tagline itu sebuah spirit gerakan ataukah sebatas menjadi jargon? Apa yang dimaksud gaya hidup dalam pembahasan wakaf ini?

Bagaimana Wakaf Dapat Menjadi Perilaku Keseharian?

Jika kita membaca dan mengamati perkembangan wakaf sampai saat ini, rasanya tagline wakaf sebagai gaya hidup masih menjadi jargon.

Pemanis dalam setiap kampanye wakaf. Namun, tidak ada kajian dan riset mendalam, yang kemudian diturunkan menjadi strategi edukasi wakaf.

Mengapa perlu kajian dan riset mendalam? Gaya hidup hanyalah penampakan luar dari kepribadian manusia yang kompleks. Menurut Kotler dan Keller, gaya hidup adalah pola hidup seseorang dalam kehidupan yang diekspresikan dalam aktifitas, minat, dan opininya. (Kotler dan Keller, 2012, h. 192).

Kita tidak bisa mengubah gaya hidup seseorang atau masyarakat tanpa mempengaruhi faktor intrinsiknya. Sebagai contoh, mengapa orang lebih memilih mengalokasikan uangnya untuk nongkrong di kedai kopi eksekutif atau restoran mahal ketimbang untuk berwakaf?

Penampakan luarnya adalah gaya hidup. Namun, gaya hidup ngopi dan makan elitis tersebut didorong oleh kepribadian dari dalam.

Kita pernah mendengar kampanye, wakaf semudah minum kopi. Ini berarti upaya mengintervensi aspek ekstrinsik. Kita bisa menganalisis berapa prosentase keberhasilan kampanye tersebut untuk mengubah perilaku dari minum kopi menjadi berwakaf (substitusi) atau minum kopi dan berwakaf (adisi)?

LEAVE A REPLY