Ilustrasi santri. (Foto: Ist)

Oleh: M Ishom el Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang)

ZNEWS.ID JAKARTA – Santri berbeda dengan kiai. Santri juga tidak harus sama dengan kiai, baik dalam pandangan, sikap, maupun keahlian. Secara pribadi Saya memiliki pandangan bahwa santri tak mesti menjadi “na’at” dari sosok kiai sebagai “man’ut”.

Tak serta merta santri menjadi “nakirah” atau “makrifat” karena mengikuti bentuk “nakirah” dan “makrifat”-nya kiai. Santri boleh saja berbeda dengan kiai, akan tetapi perbedaan itu tidak menghilangkan koneksitas antar-keduanya.

Makanya, Saya menyebut santri bagaikan “Khabar Jumlah”. Kenapa demikian? Sebab Khabar Jumlah disyaratkan memiliki apa yang biasa disebut dengan “Rabith”. Yaitu, sesuatu yang menghubungkan antara Khabar Jumlah dengan Mubtada. Di sini yang menjadi mubtada adalah kiai.

Dengan kata lain, sehebat apapun santri, baik sebagai tokoh maupun kiai muda yang memiliki muhibbin maupun pengikut, maka ia tetap membutuhkan “rabith”.

Kalau ada yang berujar, bukankah ada Khabar Jumlah yang tidak memiliki rabith? Jawabnya, betul! Tapi, perlu diingat, Khabar Jumlah yang tidak lagi menggunakan rabith adalah Khabar Jumlah yang ingin menyatakan eksistensinya sendiri. Sebagaimana kalimat قوله حسبي الله

Kalimat “Hasbiyallah” sebagai Khabar Jumlah karena berhasil menampakkan eksistensinya sendiri maka dia tidak memiliki “Rabith” yang mengkoneksikan kepada lafal “Qauluhu”.

Boleh saja santri tak memerlukan Rabith. Tapi, ingat! Seperti contoh kalimat di atas, maka kiai sebagai mubtada’ dari Khabar Jumlah, beliau akan selalu menyebut dan menceritakan santrinya yang tidak mau memakai “rabith”, bahwa santri yang berhasil menjadi khabar jumlah itu adalah santrinya.

Kiai di manapun akan selalu mengingat dan mendoakan santrinya. Pahami itu, wahai para santri! Walau kamu kini sudah jadi orang hebat.

Sumber: Kemenag

LEAVE A REPLY