Ilustrasi Ramadan, Daya Tahan dan Daya Juang. (Foto: Istockphoto)

Oleh: Ruchman Basori (Kepala Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI)

ZNEWS.ID JAKARTA – Sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan ini, terasa spesial. Spesial karena di banyak ayat Al-Qur’an dan hadis, ditahbiskan sebagai waktu yang disinyalir turunnya Lailatul Qadar.

Malam 1.000 bulan, sangat spesial bagi yang berharap mendapatkannya. Terutama bagi hamba yang menggunakan waktu tersebut untuk beribadah dan taqarrub ilallah.

Bagi orang yang berpuasa, di sepuluh hari terakhir Ramadan dikatakan terasa spesial, karena merasa sangat bahagia. Dijanjikan oleh Tuhan, sebagai waktu itqum minan nar, yakni hari pembebasan dari api neraka.

Dalam hadis yang sangat popular dikatakan, sepuluh hari pertama Ramadhan di mana Allah SWT melimpahkan kasih sayang-Nya (rahmat), sepuluh hari kedua Allah SWT memberikan pengampunan dosa (maghfirah). Sedangkan sepuluh hari terakhir di sebut sebagai pembebasan dari api neraka (itqun minan nar).

Konon, Nabi Muhammad SAW memperlakukan diri di sepuluh hari terakhir dengan spesial, terutama di tanggal-tanggal ganjil, untuk memperbanyak ibadah.

“Bahwasannya Rasulullah SAW beserta keluarganya bangun (untuk beribadah) pada malam 23, 25, 27, khususnya pada malam 29.” (HR Abu Dzar)

Coretan singkat ini akan sedikit merefleksikan bahwa Ramadan menghadirkan kesadaran massif untuk memiliki daya tahan (resiliensi) dan daya juang (adversity). Sebagai ikhtiar meningkatkan kualitas keberagamaan seseorang, jika kita mau memikirkannya secara mendalam.

Permasalahan daya tahan dan daya juang mencakup penurunan kemampuan individu untuk bertahan dan berjuang dalam menghadapi masalah, tantangan, dan kesulitan, yang dapat berdampak pada kinerja, motivasi, dan kualitas hidup manusia (Kemdikbud, 2017)

Penurunan daya tahan berdampak pada perilaku kecenderungan untuk menyerah. Individu dengan daya tahan rendah mudah menyerah saat menghadapi kesulitan, sehingga sukar untuk bangkit kembali.

Selanjutnya ialah keterbatasan dalam menghadapi tekanan. Individu dengan daya tahan rendah mudah stres dan tertekan saat menghadapi tekanan atau tantangan (RPK, 2017).

Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (2024) mengungkapkan bahwa pekerja Gen Z dan milenial memang adaptif terhadap teknologi. Namun tantangannya ialah daya juang dan fokus yang sangat lemah.

Hal ini sejurus dengan penelitian Melly Kiong dalam Alfari (2024) mengungkapkan bahwa generasi muda cenderung memiliki kecakapan mengatasi permasalahan yang rendah. Hal ini dipengaruhi oleh fasilitas dan perkembangan teknologi yang digunakan hanya untuk hiburan dan media sosial.

Akibatnya, mereka terkena penyakit mental, seperti malas berusaha, mudah putus asa, tidak bertanggung jawab, tidak disiplin, tidak mampu menyelesaikan masalah, dan mudah menyerah dengan keadaan.

Padahal, hasil penelitian Balitbang Kemdikbud (2017) mengungkapkan bahwa daya juang memiliki kontribusi yang signifikan (16,5%) terhadap kompetensi akademik individu dalam merawat masa depanya. Oleh karena itu, momentum Ramadhan dapat dijadikan sebagai medium membangun daya tahan dan daya juang generasi muda.

Daya Tahan dan Daya Juang

Puasa Ramadan menghadirkan kebahagiaan yang prinsip. Bagi seorang hamba yang bisa melakukan pengendalian diri, atas berbagai godaan-godaan. Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dan itu bersifat bendawi, fisik dan materialistik.

Mengendalikan diri dari hal-hal yang bersifat spiritual untuk tidak bersikap arogan, gila harta, gila kedudukan, menyalahgunakan wewenang, sombong, dan laku nista dan sifat-sifat kejahilan lainnya.

Pengendalian diri sebagai cerminan kemampuan menahan diri itu, saya sebut dengan istilah ‘daya tahan’. Seorang yang dengan kemampuannya, baik karena iman dan ketakwaannya kepada Tuhan mampu menjadi diri yang tahan terhadap godaan apapun selama berpuasa. Bahkan ketika di malam hari, ketika tidak berpuasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), daya tahan adalah kemampuan bertahan terhadap segala pengaruh dari luar yang dapat merugikan, seperti penyakit, serangan musuh, godaan, dan lainnya. Daya tahan tubuh misalnya dapat dijaga dengan memenuhi asupan gizi dan melakukan berbagai hal.

Daya tahan dapat pula dikaitkan dengah konsep resiliensi. Istilah resiliensi dikenalkan pertama kali pada 1950-an oleh Blok dengan nama ego-resiliency (ER), yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Resiliensi diuraikan sebagai faktor protektif melawan kesulitan (Farkas & Orosz, 2015).

Dalam pandangan Garmezy (1991) tentang individu yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan, disebut sebagai descriptive labels yaitu menggambarkan individu yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.

Sejatinya, ibadah puasa tidak sekedar menahan diri dari makan, minum, melakukan hubungan seks dan segala hal yang membatalkan puasa, tetapi juga menahan dari peilaku buruk. Bohong, hasud, iri, dengki, sombong, riya dan lan sebagainya, sebagai laku mental-spiritual.

Ramadan benar-benar menjadi kekuatan dalam meningkatkan daya tahan kita, atas godaan dari luar dirinya. Godaan yang berimplikasi pada kerugian diri atau bahkan kerugian pada orang lain.

Daya tahan ini penting di tengah kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik. Hasrat pragmatis, ingin mendapatkan balasan yang bersifat langsung atas apa yang dikerjakannya.

Selain daya tahan, orang yang berpuasa juga menjadikan diri menjadi orang yang memiliki daya juang. Bahagia sebagai ciri spiritualitas orang yang berpuasa adalah memiliki kemampuan untuk terus berjuang, mencapai derajat terttinggi, yaitu muttaqin (la’allakum tattaqun).

Perjuangan mencapainya tidak mudah, karena tidak hanya berjuang dari hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga non fisik. Perpaduan antara urusan duniawi dan ukhrowi, bendawi dan non bendawi dan tetap tegar, terus berjuang sampai titik darah penghabisan.

Orang yang memiliki kemampuan seperti tersebut di atas, saya sebut sebagai orang yang memiliki daya juang. Daya juang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kemampuan mempertahankan atau mencapai sesuatu yang dilakukan dengan gigih.

Daya juang ini harus ditumbuhkan sejak anak masih kecil agar para remaja tidak mudah menyerah pada keadaan sulit yang sedang dihadapinya.

Daya juang sejurus dengan teori adversity quotient (AQ) yang menjelaskan kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup. Teori ini dicetuskan oleh Paul G. Stoltz (1987).

AQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi kesulitan hidup dengan menggunakan akal pikiran, kemampuan mengolah emosi, dan keimanan. Kecerdasan ini dapat mengubah hambatan menjadi peluang.

Aplikasinya dalam kehidupan ialah lahirnya sikap pantang menyerah dan semangat dalam menghadapi segala macam hambatan, Meneguhkan jiwa dalam bingkai kesabaran dan menghadapi cobaan dengan keikhlasan.

Dalam pandangan Islam, hal ini dapat kita temukan dalam QS. Al-Insyirah ayat 5, yang menjelaskan bahwa setiap kesulitan akan ada kemudahan.

Tugas Kemanusiaan

Orang yang terus berupaya, di tengah yang lain tidak mempunyai target apa-apa, selain lapar dan dahaga. Orang yang terus berjuang, ketika yang lain mengabaikan kekhusyuannya di masjid, mengisi setiap detik dan menit dengan kebaikan dan setiap denyut nafasnya untuk beristighfar memohon ampunan Tuhan.

Lebih dari itu adalah kemampuan dan kapasitas berjuang di tengah-tengah kehidupan yang sangat kompleks amat dibutuhkan. Berjuang agar dirinya menjadi manusia merdeka, tidak terikat oleh siapapun. Kebebasan berpendapat, berkumpul dan mengekspresikan pikir dan perilaku di tengah kemerdekaan berpendapat kurang mendapatkan ruang.

Berjuang menjadi bagian untuk tugas-tugas kemanusiaan. Melindungi, menyayangi dan mencintai sesama sebagai ekspresi dari hablum minallah. Orang-orang yang lemah (mustadh’afin), menjadi yang selalu dipikirkan dan diperjuangkan hak-haknya.

Dalam bahasa Anthonio Gramsci adalah tidak menjadi intelektual di menara gading, tetapi menjadi intelektual yang berada di akar rumput.

Model perjuangan ini adalah para cerdik cendekia di meja-meja perkuliahan, para mahasiswa dan dosen yang memiliki modal gagasan dan pemikiran untuk ditasyarufkan pada tugas-tugas sosial. Kajian dan penelitian yang otoritatif dan mampu berperan dalam mengatasi masalah-masalah sosial keumatan.

Tridharma Perguruan Tinggi sebagai matra kehidupan kampus, menjadi piranti moral dalam menajamkan perjuangan di tengah yang papa. Kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan segala bentuk ‘penindasan’, menjadi sesuatu yang konsen diperjuangkan.

Ramadan telah mengorkestra kesadaran massif kemanusiaan. Mestinya semua yang berpuasa merasa menjadi bagian komunitas yang sadar diri akan makna perjuangan sosial. Perjuangan dengan misi keadilan dan kemuliaan.

Daya tahan dan daya juang menjadi lapisan baru baga para shoimiin. Manusia baru yang tercipta dari tempaan kawah candradimuka Ramadan. Layaknya madrasah yang akan melahirkan tidak saja cerdas sosial, tetapi juga peka dan terampil menjalankan peran-peran sosial yang menjadi ruh dari agama dalam dimensi social.

Sesungguhnya, puasa Ramadan yang tidak berdampak pada lahirnya nilai-nilai sosial, tidak akan bermakna apapun, selain menggugurkan kewajiban secara fikih. Puasa hanya dimaknai sebagai ritus dan kewajiban yang dijalankan seorang hamba, bukan hikmah (lesson learn), berupa keutamaan dan keunggulan akal-budi.

Semoga puasa Ramadan menjadi media efektif menajamkan daya tahan dan daya juang kita, dalam kehidupan kebangsaan dan keagamaan di Indonesia. Kenapa bangsa kita selama ini tahan menghadapi pelbagai masalah yang rumit, karena kita memiliki daya juang dan daya tahan. Termasuk di tengah pemerintah sedang melakukan kebijakan efisiensi anggaran. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sumber: Kemenag

LEAVE A REPLY