Oleh: Prof Budi Anna Keliat (Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan, FIK UI) dan Yefta Primasari, Primalova, Febri Christian, Synthia Andriani, Agung Tri, dan Hari Widiyatmini (Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Angkatan 17, FIK UI)
ZNEWS.ID JAKARTA – Pemerintahan baru menghadapi tantangan besar dalam mengatasi masalah stunting yang masih menjadi isu serius di Indonesia.
Stunting bukan hanya masalah kesehatan, melainkan masalah pembangunan manusia yang berkelanjutan, karena anak-anak yang mengalami tengkes akan mengalami hambatan dalam perkembangan fisik dan kognitifnya. Hal ini tentu akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Oleh karena itu, dalam Strategi Transformasi Bangsa, Pemerintah baru menekankan pentingnya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan kualitas hidup dan kesehatan, salah satunya dengan mengatasi masalah stunting.
Visi-misi ini tercermin dalam komitmen untuk memberikan asupan makanan bergizi bagi ibu hamil, bayi, dan balita sebagai upaya pencegahan tengkes.
Stunting adalah kondisi di mana anak memiliki tinggi badan yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya akibat kurangnya asupan gizi kronis, terutama selama periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yaitu sejak kehamilan hingga anak berusia 2 tahun.
Penyebab stunting sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Faktor biologis meliputi kurangnya asupan gizi pada ibu hamil yang berdampak pada berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi, kurangnya penggunaan layanan kesehatan selama masa kehamilan (ante natal care/ANC), pemberian ASI eksklusif yang tidak memadai, serta kurangnya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang bergizi.
Selain itu, faktor seperti layanan imunisasi yang tidak optimal dan penyakit infeksi yang sering diderita bayi juga dapat berkontribusi pada terjadinya stunting.