Oleh: Adib Achmadi (Pemerhati sosial budaya dan pegiat di Padepokan Kalisoga, sebuah lembaga sosial yang berfokus pada pendidikan kepemimpinan dan penguatan kelembagaan desa)
ZNEWS.ID JAKARTA – Pada era modern, arus globalisasi membawa kecenderungan untuk menyeragamkan berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Modernisasi sering dimaknai sebagai adopsi standar-standar global dalam bidang teknologi, ekonomi, pendidikan, hingga budaya.
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, terjebak dalam pola pikir yang berusaha meniru sistem dan cara hidup negara maju, dengan harapan dapat menjadi bagian dari masyarakat industri yang dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan.
Namun, pandangan yang terkesan lazim ini sebenarnya kurang realistis. Mengapa? Setiap bangsa memiliki keunikan dan keragaman yang terbentuk dari sejarah, kondisi sosial, dan budaya yang khas.
Ketika modernisasi diterapkan tanpa mempertimbangkan latar belakang budaya dan konteks sosial setiap bangsa, hal ini berpotensi mengabaikan aspek-aspek yang membentuk identitas bangsa.
Dalam hal ini, modernisasi yang terlalu seragam dapat menyebabkan krisis identitas bagi bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya.
Setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang sejalan dengan akar sosial dan budayanya.
Bagi Indonesia, prinsip ini telah tertuang dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang bebas.
Dengan demikian, kemerdekaan ini mencakup hak untuk menentukan arah pembangunan yang selaras dengan karakter dan nilai-nilai bangsa.