Oleh: Mahrus eL-Mawa (Alumni Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga, nyantri di pesantren Al-Munawir Krapyak dan Salafiyah Pemalang, Kasubdit Pendidikan Al-Qur’an)
ZNEWS.ID JAKARTA – Pondok Pesantren sebagai sub kultur, seperti diwacanakan KH Abdurrahman Wahid selalu menarik untuk ditelaah. Salah satunya terkait dengan pemberian makna atau terjemahan setiap kata pada teks dalam mengkaji kitab kuning.
Di tengah era industri 4.0 dan dunia digital, pesantren masih mempertahankan alat yang digunakan untuk menuliskan arti/makna saat sang kiai menjelaskan arti setiap kata pada kitab kuning yang khas ala pesantren. Alat tulis tersebut disebut dengan pentul, atau pena tutul.
Pentul ini dengan kitab kuning saling kelindan, terkait, pun dengan pesantren, baik untuk keabadian tulisan kitab kuning, kemudahan bacaan, maupun lainnya. Semua itu nampaknya hanya terjadi pada pondok pesantren, jauh hari sebelum definisi pesantren ala UU Pesantren tahun 2019 dilegalformalkan oleh pemerintah.
Dalam istilah UU, pesantren yang masih mempertahankan pentul itu disebut dengan pesantren kitab kuning/salafiyah.
Membicarakan pentul ini, mengingatkan penulis pada masa sekitar tahun 85-an. Tepatnya, saat penulis masih menggunakan pentul ketika mesantren di Salafitah Pemalang, tentu saja selain pena bermerk “pilot” yang digunakan saat sekolah formal di Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Saat itu, tinta masih dalam bentuk padat. Jika ingin digunakan, tinta padat itu harus digosok terlebih dahulu sampai cair. Selanjutnya, tinta yang sudah cair itu dicampur dengan aras/ares, pelepah pisang yang kering.
Alat tulis seperti ini ternyata saat ini masih digunakan para santri di pesantren Lirboyo Kediri. Sementara beberapa pesantren lainnya, relatif sudah jarang digunakan.
Penggunaan seperangkat pentul masa kini juga sudah banyak mengalami perkembangan. Aras pelepah pisang sudah disiapkan, begitupun dengan tinta cairnya.