
Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA (Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015)
ZNEWS.ID JAKARTA – Sejak sekolah dasar, anak-anak selalu diajari tentang sejarah yang terkait dengan penjajahan di Nusantara atau sebuah negeri sebelum menjadi Indonesia, yang berlangsung berabad-abad lamanya.
Sebagian pakar bahkan menghitung kolonialisme bermula di negeri ini ditandai sejak masuknya Portugis ke Selat Malaka pada 1511. Pakar lain menyebutnya, penjajahan berawal sejak VOC berganti wajah menjadi Pemerintahan Hindia-Belanda pada 1799.
Sulit dibayangkan mengapa penjajahan begitu lama, namun demikianlah faktanya. Kemudian muncul pertanyaan mengapa bangsa ini dijajah begitu lama.
Ternyata jawabannya karena perjuangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme belum terkonsolidasi. Sebagian besar masyarakat di tanah air cenderung masih bersifat fanatik terhadap kelompoknya.
Tidak ada semangat persatuan yang ditanamkan oleh masyarakat pribumi di tanah air. Jika pun ada perlawanan, sifatnya masih sangat lokal.
Kesultanan Demak di Jawa melawan, dengan tanpa melibatkan kekuatan-kekuatan lain di luar Jawa. Begitu pun Kesultanan Mataram melawan, juga tanpa melibatkan kerja sama seluruh kekuatan. Tentara Paderi melawan, juga tanpa konsolidasi dengan seluruh rakyat semesta.
Memasuki abad 20, sektarianisme masih bercokol. Memang benar telah muncul organisasi-organisasi pemuda, yang mengusung spirit nasionalisme dan anti-kolonialisme. Tetapi, Budi Utomo yang berdiri tahun 1908 di Jakarta, misalnya, masih cenderung fokus pada koordinasi kekuatan di wilayah Jawa-Madura.
Al-Irsyad Al-Islamiyah yang berdiri pada 1914 di Jakarta atau Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 di Yogyakarta, semuanya masih bersifat lokal, dengan visi-misi yang etnosentrisme. Hal yang sama juga menimpa Jong Java yang didirikan tahun 1918 di Solo, yang cenderung fokus pada garis koordinasi Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.
Belum lagi melihat sejarah Jong Sumatranen Bond, yang didirikan pada 1917 di Jakarta. Tidak lama kemudian, para pemuda Batak memilih keluar, dengan alasan yang juga sifatnya fanatisme kesukuan. Menurut pemuda-pemudi Batak, Jong Sumatra hanya didominasi oleh orang-orang Minangkabau.