
Oleh: Destika Cahyana (Anggota Majlis Amanah DPP GEMA Mathla’ul Anwar, PPIH Arab Saudi 2024 M/1445 H)
ZNEWS.ID JAKARTA – Berjumpa dengan Ka’bah adalah kerinduan setiap muslim di seluruh penjuru dunia. Miliaran manusia berangkat menemui Ka’bah melalui ibadah haji atau umrah, setiap tahun.
Bagaimanakah perjumpaan itu dirasakan setiap insan? Tentu, setiap manusia memiliki pengalaman spiritual yang berbeda-beda, sehingga gambaran emosi perjumpaan itu pasti beragam.
Setiap jemaah haji yang pulang ke negerinya akan bercerita dengan beragam versi, baik lisan maupun tulisan. Ayah bercerita pada istri dan anaknya hingga kerabat-kerabatnya. Tetangga berkabar pada tetangganya. Guru berkisah pada muridnya. Para kiai bertutur pada para jemaahnya.
Barangkali, belum ada catatan ringkas yang menjelaskan perjumpaan dengan Ka’bah segamblang dan seberani yang ditulis Dr. Ali Shariati, cendekiawan Muslim asal Iran, dalam bukunya berjudul “Haji” yang terbit pertama kali pada 1978.
Buku itu juga mengurai makna haji dengan luar biasa. Buku ini bukan manasik haji biasa yang banyak diterbitkan dalam berbagai bahasa. Catatan itu mengungkap makna-makna di balik ritual haji yang dilakukan semua anak manusia di musim haji.
Buku itu pula yang kembali penulis baca sebelum menjadi Petugas Penyelenggara Haji Indonesia (PPIH). Banyak jemaah asal Indonesia yang menunaikan haji tahun ini menunggu waktu untuk menunaikan ibadah haji hingga 12-14 tahun.
Sepanjang waktu itu, jemaah menabung dan mempersiapkan diri agar mampu secara finansial dan fisik mampu berjumpa langsung dengan Ka’bah dan wukuf di Arafah. Kini, lama mengantre dapat mencapai 24 tahun.
Kerinduan melihat Ka’bah itu seperti kerinduan kekasih berjumpa dengan yang dikasihinya. Namun, ketika berjumpa langsung dengan Ka’bah, Dr. Ali Shariati menulis secara implisit bahwa kerinduan itu seperti kontradiktif.