Oleh: Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Kemenag RI)
ZNEWS.ID JAKARTA – Di tengah kompleksitas birokrasi saat ini, banyak orang yang mungkin memandang pekerjaan birokrat hanya sebatas rutinitas harian yang penuh aturan dan tata kelola yang rumit. Ibarat hutan seperti rimba belantara yang kait mengait. Namun, jika kita mau melihat lebih dalam, ada semangat kepahlawanan yang bisa kita temukan dalam pekerjaan di birokrasi.
Nilai-nilai luhur yang apabila dihayati dapat membuat birokrat menjadi sosok yang luar biasa. Bisa juga disebut sebagai pahlawan birokrasi. Apalagi di awal pemerintah baru ini, muncul harapan (hope) besar terhadap para pejabat terpilih agar dapat menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan untuk menghantarkan Indoensia Emas tahun 2045.
Lalu, nilai-nilai kepahlawan apa saja yang dapat digali dan ditemukan dalam dunia birokrasi?
Pertama, memiliki jiwa profetik saat diangkat sebagai birokrat. Seorang birokrat sejati bekerja berdasarkan pada nilai-nilai keilahian, bukan motivasi pada kebendaan. Baginya, bekerja di pemerintahan lebih dari sekadar urusan administrasi.
Ini adalah tugas yang memiliki makna mendalam, hampir seperti misi kenabian itu sendiri. Dalam menjalankan tugas, seorang pejabat atau aparatur negara bukan hanya untuk menyenangkan atasan atau menyelesaikan “deadline”, tetapi sebagai pengabdian yang diperhitungkan oleh alam raya dan Tuhan.
Dengan jiwa profetik yang tertanam sejak awal, seorang birokrat bekerja dengan penuh tanggung jawab moral, menegakkan keadilan, dan selalu berpegang pada kebenaran. Mereka sadar bahwa di balik setiap kebijakan dan keputusan ada nilai keilahian yang harus dihormati.
Kedua, memiliki integritas dengan tidak memberikan ruang batin sedikitpun untuk korupsi. Seorang birokrat tulen kalau berbicara soal integritas, bisa mengambil inspirasi dari Khalifah Umar bin Khatthab, yang terkenal dengan kejujuran dan keberaniannya dalam menegakkan kebenaran.
Suatu ketika Umar bin Khattab sedang bekerja menggunakan lampu yang disediakan dari baitul mal (harta milik negara). Ketika seseorang datang untuk urusan pribadi, Umar mematikan lampu itu dan menyalakan lampu lain yang dibiayai dari uang pribadinya. Beliau melakukan hal itu karena tidak ingin menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, meskipun kelihatannya sepele.