
Oleh: Adam Muhshi (Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember dan Anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum)
ZNEWS.ID JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90/2023) memantik kegaduhan berkepanjangan. Dalam beberapa grup WhatshApp ada yang secara khusus menanyakan apakah terhadap putusan tersebut berlaku juga konsep batal demi hukum, batal, dan dapat dibatalkan yang dikenal dan berlaku dalam hukum administrasi. Selain itu, ada pula yang secara pribadi menanyakan kemungkinan putusan itu tak dilaksanakan.
Di luar itu, polemik di berbagai media tak kalah serunya. Bahkan sudah ada beberapa pihak yang melaporkan dugaan terjadinya pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terutama Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Harapannya, tak sekadar jatuhnya sanksi etik terhadap yang bersangkutan tapi sekaligus dianulirnya Putusan 90/2023 oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Saat opini ini ditulis, MKMK sedang memeriksa laporan dugaan terjadinya pelanggaran etik dan rencananya akan memutusnya pada hari Selasa, 7 November 2023.
Tulisan ini dimaksudkan untuk merespons isu hukum di atas. Telaah akan dibatasi oleh 2 pertanyaan, yaitu bagaimana keabsahan Putusan MK 90/2023 dan apa resep (preskripsi) konstitusional atas putusan tersebut.
Keabsahan Putusan 90/2023
Semua produk kekuasaan tak dapat dilepaskan dari konsep wewenang yang mendasarinya. Setiap produk kekuasaan dikatakan sah secara hukum apabila orang atau lembaga yang mengeluarkannya memang memiliki kewenangan untuk itu. Konsekuensinya, terhadap semua produk kekuasaan berlaku pula konsep van rechtswege nietig (batal demi hukum), nietig (batal), dan vernietigbaar (dapat dibatalkan).
Formula tersebut tentu saja berlaku juga terhadap putusan kekuasaan yudisial. Secara umum, selama putusan peradilan didasarkan pada wewenang yang sah, maka keabsahannya dijamin oleh asas res judicata pro veritate habetur (asas res judicata). Berdasarkan asas ini, semua putusan peradilan harus dianggap benar atau absah selama belum dilakukan pembatalan terhadapnya.
Asas res judicata hadir mengamankan setiap putusan peradilan yang telah didasarkan kepada wewenang yang dimiliki. Jadi selama lembaga peradilan yang bersangkutan memiliki wewenang, maka putusannya harus dianggap benar berdasarkan asas res judicata tersebut. Putusan yang diamankan oleh asa res judicata ini, sifatnya hanya “dapat dibatalkan” yaitu ia batal sejak adanya tindakan pembatalan terhadapnya.
Dalam konteks putusan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, secara umum asas res judicata berakhir manakala suatu putusan pengadilan telah dianulir oleh putusan peradilan yang lebih tinggi. Artinya, pembatalan terhadap suatu putusan peradilan hanya dapat dilakukan oleh putusan peradilan yang lebih tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Namun, asas res judicata tidak berlaku apabila putusan peradilan dilakukan tanpa adanya dasar kewenangan. Putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tanpa dasar wewenang (onbevoegd) berakibat “batal demi hukum”. Implikasinya, putusan tersebut dianggap tidak pernah ada dan terhadapnya tak berlaku asas res judicata.