Pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. (Foto. Shutterstock/aksenovden)

Konektivitas Laut dan Udara

Pariwisata Mentawai mungkin tidak butuh banyak polesan, dalam arti tidak perlu objek-objek wisata buatan, tetapi tetap membutuhkan infrastruktur konektivitas seperti pelabuhan dan bandar udara, bahkan sifatnya vital, baik untuk mobilitas warga maupun wisatawan.

Bandara kecil cukuplah, tetapi banyak pelabuhan/dermaga yang dibutuhkan untuk konektivitas antarpulau, termasuk logistik. Pemerintah Pusat menaruh perhatian pada Mentawai karena merupakan salah satu wilayah 3-TP (terdepan, terluar, tertinggal, dan perbatasan).

Untuk menunjang pariwisata Mentawai, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah membangun bandara baru, yakni Rokot Sipora baru, dengan panjang landasan pacu atau runway 1.500 meter yang dapat didarati pesawat sekelas ATR-600 berkapasitas 78 penumpang.

Bandara Mentawai baru memiliki terminal berukuran 1.600 meter persegi yang mampu menampung penumpang sebanyak 53.881 orang per tahun. Sebelumnya, bandara perintis (Rokot Sipora Lama) dengan landas pacu 850 meter hanya bisa didarati pesawat berbaling-baling atau  propeller sekelas Cessna Grand Caravan berkapasitas 12 orang. Naik pesawat kecil seperti ini tentu kurang nyaman karena goncangan angin dan awan terasa sekali.

Namun, sebagai wilayah kabupaten kepulauan, konektivitas jalur laut antarpulau dan dari Padang – Mentawai amat vital untuk mobilitas penumpang dan barang. Penyeberangan dari Padang ke Mentawai dilayani dengan kapal feri dari Pelabuhan Teluk Bungus ke Tuapejat atau Sikakap (Pagai Selatan).

Sementara, pelayaran antarpulau saat ini dilayani dengan kapal cepat MV Mentawai Fast, operator swasta yang bekerja sama dengan pemerintah kabupaten (pemkab).

Dalam hal ini, pemkab akan menyubsidi operator ketika muatan atau load factor kurang dari 60 persen, sesuai dengan jumlah kursi /penumpang untuk mencapai muatan 60 persen tersebut.

Rute yang dilayani kapal cepat ini adalah Tuapejat-Siberut Selatan (Siberut) – Siberut Utara (Sikabaluan), dan Tuapejat – Sikakap. Sementara, rute yang tidak dilayani oleh kapal cepat, dilayani dengan kapal milik pemkab.

Namun, terdapat satu wilayah kecamatan yang belum memiliki dermaga, yakni Kecamatan Siberut Tengah. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk mobilitas penduduk dan distribusi logistik. Akibatnya, harga bahan-bahan kebutuhan pokok relatif  mahal.

Padahal, Desa Saibi Samukop, yang menjadi tempat kedudukan pusat pemerintahan Kecamatan Siberut, luasnya lebih dari 1.000 kilometer persegi, jauh lebih luas dari Daerah Khusus Jakarta.

LEAVE A REPLY