ZNEWS.ID JAKARTA – Di antara gemerlap Kota Jakarta, ada sosok muda yang memilih jalan pengabdian di dunia filantropi Islam. Dia adalah Ica Aminatus Sholihah, seorang perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah, yang saat ini bertugas sebagai Amil (Fundraiser) Zakat Dompet Dhuafa di Lippo Mall Kemang selama Ramadan 1446 H.
Perjalanannya hingga menjadi seorang amil zakat bukanlah sesuatu yang ia rencanakan sejak awal. Belum lama ini, Ica berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya di bidang Biologi, jurusan yang jauh dari dunia zakat maupun filantropi Islam. Namun, ada dorongan dalam dirinya untuk mencoba sesuatu yang baru, sekaligus memberi manfaat bagi orang lain.
“Awalnya, aku tertarik ikut menjadi amil karena ingin merasakan pengalaman baru di luar bidang akademikku. Tapi setelah menjalani, ternyata aku justru semakin memahami betapa luar biasanya dampak zakat bagi kesejahteraan umat,” ujar Ica.
Tahun ini adalah kali kedua ia menjadi Amil Zakat Dompet Dhuafa. Ramadan tahun lalu, ia bertugas di Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Kini, ia mendapat amanah baru di Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan, dengan tantangan yang tentu berbeda.
Sebelum menjadi amil, Ica mengaku belum banyak tahu tentang Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF). Meskipun ia sering mengikuti kegiatan sosial, pemahamannya tentang zakat sebagai instrumen keuangan Islam masih sangat minim. Namun, keinginannya untuk belajar dan memahami lebih dalam membuatnya semakin mantap menjalani tugas ini.
“Sejujurnya, aku dulu nggak paham sama sekali tentang zakat. Aku kira, zakat itu cuma sekadar berbagi kepada orang lain. Tapi ternyata ada banyak aturannya, ada perhitungannya, dan yang lebih penting, ada tanggung jawab besar di baliknya,” kata Ica.
Kepada setiap amilnya, Dompet Dhuafa senantiasa selalu memberikan banyak pembekalan. Tidak hanya tentang cara menghitung zakat, tapi juga tentang bagaimana cara menyampaikan informasi zakat kepada masyarakat dengan baik. Sebab, banyak orang yang ingin menunaikan zakat tetapi tidak tahu bagaimana cara menghitungnya dengan benar.
“Kami sering bertemu dengan orang yang ingin berzakat tapi masih bingung. Ada yang ragu apakah hartanya sudah mencapai nisab, ada juga yang nggak tahu berapa persen yang harus dikeluarkan. Tugas kami bukan hanya menerima zakat, tapi juga memastikan bahwa zakat yang mereka tunaikan sesuai dengan syariat,” jelas Ica.
Sebagai amil, ia harus bekerja ekstra keras, terutama menjelang akhir Ramadan. Pekerjaan ini tidak berhenti saat takbir berkumandang, melainkan terus berlanjut hingga malam Idulfitri untuk melayani para muzaki (pemberi zakat) dan mustahik (penerima manfaat zakat). Bahkan, di hari pertama dan kedua Syawal, Ica pun masih harus bertugas.
ia pun sejak awal sudah menyadari bahwa tidak bisa pulang saat Lebaran. Baginya, itu sudah menjai risiko sebagai seorang amil zakat. Untungnya, keluarganya juga ikut memahami, sehingga tidak akan menjadi masalah.
Meski begitu, ia tetap merencanakan kepulangannya setelah tugas selesai. Ia berencana pulang di hari kedua setelah Idulfitri. Sehingga, ia bisa berkumpul dengan keluarga di rumah di hari ketiga Syawal.
Dari sekian banyak pengalaman, ada satu momen yang paling membekas di hati Ica. Itu terjadi ketika ia bertugas di Grand Indonesia tahun lalu.
Suatu hari, seorang ibu paruh baya datang ke gerai Dompet Dhuafa. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, seolah masih mempertimbangkan sesuatu.
Ica yang saat itu bertugas langsung menyapanya dengan ramah. Kata si ibu, dirinya belum pernah dengar tentang Dompet Dhuafa sebelumnya.
Ica pun mencoba menjelaskan tentang lembaga ini, serta bagaimana cara mengelola zakat secara profesional, juga bagaimana zakat yang dihimpun bisa sampai ke saudara-saudara yang benar-benar membutuhkan.
Setelah mendengar penjelasan itu, ibu itu mulai tersadar bahwa masih banyak orang yang belum tersentuh bantuan. Selama ini, ia hanya menyalurkan zakat kepada orang-orang di sekitarnya, padahal ada begitu banyak saudara muslim di pelosok negeri yang kehidupannya jauh lebih sulit. Akhirnya, ia memutuskan untuk menunaikan zakatnya di Dompet Dhuafa.
Bagi Ica, pengalaman itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa peran amil zakat sangatlah berarti.
“Kadang, orang tidak menolak berzakat, mereka hanya belum tahu ke mana harus menyalurkan zakatnya. Dan, di situlah tugas kita sebagai amil—menjadi jembatan antara muzakki dan mustahik,” tegasnya.
Bagi Ica, menjadi amil zakat bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah pengabdian. Ia merasa bahwa tugas ini bukan hanya membantu orang menunaikan kewajibannya, tetapi juga turut membangun kesadaran akan pentingnya zakat sebagai solusi ekonomi umat.
“Kalau dipikir-pikir, amil itu kayak mengatur dan menghitung uang Allah. Amanahnya besar, tanggung jawabnya juga langsung ke Allah,” ujarnya.
Meskipun harus berkorban banyak hal, termasuk tidak bisa merayakan Idulfitri bersama keluarga tepat waktu, Ica merasa pekerjaannya sangat bernilai.
“Ketika melihat zakat yang ditunaikan bisa membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan, rasanya semua lelah terbayar. Dan itu yang bikin aku semangat terus menjalani tugas ini,” katanya dengan senyum penuh keyakinan.
Di tengah perantauan, Ica terus mengabdi sebagai amil zakat, menjadi bagian dari ikhtiar besar dalam menebarkan keberkahan zakat ke seluruh penjuru negeri.
Oleh: Riza Muthohar