Ilustrasi: Petugas menggunakan mobil derek mengevakuasi Bus Eka dan Sugeng Rahayu yang rusak akibat bertabrakan di Geneng, Ngawi, Jawa Timur, Kamis (31/8/2023). (Foto: ANTARA/Siswowidodo)

Oleh: Tulus Abadi (Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI, Periode 2015-2025)

ZNEWS.ID JAKARTA – Belum kering air mata keluarga 12 korban minibus Grand Max yang mengalami kecelakaan pada mudik Lebaran lalu, duka mendalam kembali menyelimuti sektor transportasi darat. Tercatat 11 siswa SMK di Depok, Jawa Barat, meninggal akibat kecelakaan fatal bus pariwisata yang ditumpangi.

Maksud hati ingin bersenang-senang, apa daya malah petaka yang mereka dapatkan. Dan, ini bukan kali pertama terjadi, melainkan sudah beberapa kali terjadi, dengan korban fatal (meninggal) dan masal.

Pemicu kecelakaan itu, tragisnya, nyaris sama, yakni faktor manusia (human factor) dan faktor teknis (technical factor).

Jika merujuk pada skala sempit, maka benar, bahwa pemicu secara dominan adalah kedua faktor itu. Faktor manusia, seperti mengantuk, kelelahan, mengebut (overspeed), hingga pengemudi kurang istirahat.

Sementara faktor teknis, lazimnya karena rem blong, dan atau faktor ban gundul, atau ban vulkanisir. Namun, kejadian itu tidak bisa dilihat dalam perspektif yang menyempit saja, tetapi musti dengan kacamata yang meluas.

Benar, aspek manusia menjadi pemicu utama, tetapi pertanyaannya kenapa sopir mengantuk/kelelahan tetap menjalankan busnya?

Inilah yang harus dikulik, baik dari sisi korporasi hingga regulasi. Tidak adil jika menjadikan faktor manusia (awak angkutan) sebagai tersangka tunggal, atau bahkan tumbal pada setiap kecelakaan.

Terkait hal ini, ada beberapa musabab, yakni kurangnya perhatian dari perusahaan terkait kesejahteraan sopir dan awak angkutan.

Selain itu, awak angkutan, khususnya sopir, cenderung dieksploitasi. Akibatnya sopir kurang istirahat, kelelahan, mengantuk, dan sejenisnya.

LEAVE A REPLY