Sejumlah wisatawan domestik menikmati keindahan Kebun Raya Bedugul, Tabanan, Bali. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)

ZNEWS.ID TABANAN – Terletak di tengah-tengah Pulau Bali, kawasan hutan pegunungan ini berada di perbatasan dua kabupaten, yaitu Tabanan dan Buleleng. Sekitar 70 km dari Denpasar ke arah utara.

Secara geologis, kawasan bernama Bedugul ini merupakan peninggalan gunung berapi purba. Berupa cekungan (basin) endorheik (terkungkung), di mana terdapat tiga dari empat danau besar di Bali, yaitu Danau Beratan (375,6 hektare), Danau Buyan (336 hektare), dan Danau Tamblingan (110 hektare).

Karena itu, Bedugul menjadi lansekap penting untuk konservasi, penduduk, pertanian, pariwisata, agama, dan budaya Bali. Di sini juga terdapat kebun raya terbesar di Bali, yaitu Kebun Raya Bali (KRB).

Di dalam kebun raya seluas 50 hektare ini terdapat berbagai hutan dan kebun tematik, yang sekaligus menjadi tempat tujuan warga Bali untuk berwisata alam (ekowisata) maupun petualangan. Namun, terkait dengan pandemi Covid-19 saat ini, Kebun Raya Bali sedang ditutup sejak minggu ketiga Maret 2020.

Aktivitas manusia yang berkembang pesat di wilayah ini menimbulkan kekhawatiran, terutama di zona penyangga yang secara ekologis tidak dapat dipisahkan dari keberadaan tiga danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan.

“Potensi hayati yang kaya dan unik di balik ancaman degradasi hutan dan alih fungsi lahan di daerah cekungan terkungkung Bedugul, menjadi pendorong mewujudkan Bedugul sebagai cagar biosfer berikutnya di Indonesia,” kata Kepala Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Didit Okta Pribadi, di Candikuning, Tabanan, Bali, Rabu (22/4/2020).

Sedangkan, Peneliti Ekologi Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” LIPI, Sutomo, menjelaskan bahwa ada perubahan penggunaan lahan di wilayah Bedugul. Termasuk wilayah tiga danau tadi jika dilihat dengan teknik pengindraan jauh dan analisis citra satelit.

“Tanpa penerapan teknik konservasi, air tanah dapat menyebabkan erosi, penurunan kualitas air, sedimentasi, dan dapat merusak fungsi area danau sebagai daerah tangkapan air,” kata Sutomo, dilansir dari lipi.go.id, Minggu (26/4/2020).

Pada tahun 2005, LIPI dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Bali mengadakan simposium “Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Sumber Daya di Tri-Danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan”.

Simposium tersebut merekomendasikan beberapa spesies flora asli di daerah tersebut dapat diperkenalkan kembali untuk mengembalikan fungsi penyangga danau.

“Beberapa spesies ditemukan secara alami, seperti cemara pandak atau Podocarpus imbricatus dan cemara geseng Casuarina junghuhniana,” terang Sutomo.

Adapun beberapa jenis bambu, seperti Scizostachyum branchycladum, Dendrocalamus asper, dan Gigantocloa apus, kata Sutomo, dapat menjaga sistem air.

Bahkan, Pinanga arinasae (pinang) dan Dicksonia blumei (tumbuhan paku) merupakan spesies langka yang dapat ditemukan di area Bukit Pohen, Bedugul.

Kegiatan penelitian yang dilakukan Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” LIPI di Bukit Pohen berhasil mengungkap kekayaan keanekaragaman hayati dalam petak sampel seluas satu hektare.

Sutomo mengatakan, di dalamnya juga terdapat beberapa spesies flora langka yang harus dilindungi. Simposium juga mengusulkan  model manajemen yang sesuai dengan daerah cekungan terkungkung Bedugul, yaitu pengelolaan dengan konsep cagar biosfer.

Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerja sama program UNESCO-MAB, untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan genetika dalam harmoni dengan pembangunan ekonomi dan kearifan budaya lokal.

Di Indonesia, meskipun kata cagar biosfer telah tercantum dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, namun keberadaaanya belum banyak diketahui oleh masyarakat umum.

Cagar biosfer diakui secara internasional sebagai bagian untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Cagar biosfer memiliki fungsi pendukung penelitian, pemantauan, dan proyek percontohan. Serta, pendidikan dan pelatihan.

“Dengan demikian, biosfer tidak hanya untuk konservasi, tetapi juga menjadi upaya untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan,” kata Sutomo.

Editor: Agus Wahyudi

LEAVE A REPLY