
Meski begitu, saat mulai di eTahfizh, ia tetap harus mengulang hafalan dari awal. Ini sebagai bentuk kesetaraan di antara siswa lain yang mungkin memiliki hafalan yang berbeda-beda, bahkan nol. Bagi Dzaky, mengulang hafalan dari awal justru ia manfaatkan sebagai sarana untuk lebih memperkuat hafalan.
“Al-Quran kan merupakan petunjuk dan pedoman. Jadi menghafal Al-Qur’an bukan tentang tujuan mencari hidup seperti apa, tapi saya menghafal Al-Qur’an supaya hidup ini selalu terarah dan selalu diberi petunjuk. Al-Qur’an membahas bukan hanya mengenai peribadatan tapi semua aspek kehidupan. Jadi, Al-Qur’an adalah alat untuk mendasari segala urusan kehidupan. Seperti mungkin kelak saya berkeinginan jadi seniman. Nah, Al-Qur’an ini sebagai dasar dan landasan saya dalam menuju itu. Yaitu seniman yang qurani,” ujar Dzaky.
“Bisa jadi nanti mungkin saya berdakwah lewat seni. Spesifiknya adalah seni rupa dan sastra tulis,” lanjutnya.
Tak heran, bahkan sebelum momen kelulusan dari sekolahnya, ia sudah diterima di kampus negeri ternama, Universitas Indonesia dengan jurusan Sastra Arab. Lengkap sudah gelar santri/sastri yang melekat pada dirinya.
Dzaky adalah satu dari sekian lulusan eTahfizh. Ia berhasil tuntas menyerap ilmu yang ada di eTahfizh tak lain berkat dukungan dan kontribusi para orang tua asuh.
Melalui program Orang Tua Asuh, Dompet Dhuafa menjembatani bapak/ibu donatur Dompet Dhuafa untuk ikut menjadi orang tua bagi calon-calon penghafal Al-Qur’an dan pemimpin masa depan.
Selain Dzaky, delapan temannya juga sudah berhasil lolos masuk di perguruan tinggi. Di antaranya adalah Muhammad Salman di STEI SEBI jurusan Ekonomi Syariah, Sulaiman Arif di UIN Maulana Malik Ibrahim jurusan Hukum Tata Negara.
Kemudian, M Anwar Muzakki di Universitas Negeri Jakarta jurusan Teknik Mesin, Fauzan Al Ghifari di UIN Syarif Hidayatullah jurusan Dirasah Islamiah, Muhammad Arifin di UIN Syarif Hidayatullah jurusan Sejarah Peradaban Islam.