Oleh: Fatchuri Rosidin (Direktur IMZ)
ZNEWS.ID JAKARTA – Seorang amil datang ke ruangan saya dan meminta maaf karena cutinya melebihi jumlah hari yang diizinkan. Saat pulang kampung liburan Idulfitri kemarin, ia tak dapat tiket kendaraan untuk kembali ke Jakarta di tanggal yang dicarinya. Sementara, sebagai amil baru, dia tak punya hak cuti lebih.
“Kesalahan terhadap lembaga akan mendapat konsekuensi sesuai aturan yang berlaku. Tapi, ada yang lebih penting dari itu,” jawab saya setelah ia menjelaskan duduk perkaranya.
“Apa itu, Mas?” tanyanya.
Di sini memang semua orang yang lebih senior dipanggil mas atau mba; tak ada panggilan pak atau bu.
“Kita bekerja di sini untuk berjuang dan mendapatkan keberkahan dari Allah. Jangan sampai keberkahan itu ditarik kembali oleh Allah karena kita tidak amanah. Kita ini amil zakat. Kita dibayar dengan uang zakat. Jadi, kalau kita berbuat salah, kita bukan hanya bersalah kepada lembaga, tapi juga bersalah kepada para muzaki yang memercayai kita.”
Saya memperbaiki posisi duduk dan melanjutkan bicara, “Kita menyebut kontrak kerja amil dengan istilah akad. Akad perjanjian kita hakikatnya adalah perjanjian dengan Allah. Lembaga hanya mewakili Allah dalam menjalankan perannya sebagai pengelola. Jadi, kalau kita berbuat salah, hakikatnya kita bersalah kepada Allah.”
“Saya siap menerima sangsinya, Mas,” jawabnya mantap. Sorot matanya menunjukkan ia menyesal dan mau bertanggung jawab. Saya percaya dengan kata-katanya.
“Sangsi dari lembaga akan saya berikan. Tapi bagaimana dengan kesalahanmu kepada Allah? Saya tidak bisa mewakili Allah untuk urusan yang satu ini. Ini urusan pribadi-Mu dengan Allah.”
Dia kelihatan terkejut dengan jawaban saya.
“Jadi, saya harus bagaimana untuk menebus kesalahan kepada Allah?”