Dr Aisah Dahlan, Dokter sekaligus praktisi Neuroparenting. (Foto: Dompet Dhuafa)

ZNEWS.ID JAKARTA – Ramadan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain menjadi waktu diturunkannya Al-Qur’an, Ramadan juga menjadi momen untuk membersihkan diri dari hal-hal negatif, salah satunya melalui ibadah puasa.

Selain memberikan manfaat spiritual, puasa juga berdampak positif bagi kesehatan tubuh. Dr Aisah Dahlan, seorang dokter sekaligus praktisi Neuroparenting, menjelaskan berbagai manfaat puasa bagi tubuh dan otak manusia.

Dampak Puasa terhadap Sistem Pencernaan

Dalam aktivitas sehari-hari, sistem pencernaan bekerja tanpa henti untuk mencerna makanan yang dikonsumsi. Namun, saat berpuasa dari waktu imsak hingga Magrib, organ pencernaan mendapatkan waktu istirahat.

Salah satu manfaatnya adalah lambung dapat mengurangi produksi asam, sehingga risiko pengikisan dinding lambung pun berkurang.

Tak hanya lambung, organ pencernaan lain seperti liver juga ikut berperan dalam mengatur metabolisme tubuh. Liver akan memecah cadangan glukosa di hati untuk menyediakan energi.

Usus halus pun bekerja lebih efisien dalam menyerap nutrisi, sementara usus besar mengontrol penyerapan cairan, sehingga tubuh tetap terhidrasi dengan baik.

Namun, Aisah menekankan bahwa setiap individu harus tetap memerhatikan durasi puasa yang berbeda di setiap wilayah. Oleh karena itu, diperlukan adaptasi sesuai dengan kebiasaan setempat agar puasa tetap berjalan dengan sehat dan optimal.

“Tetap perlu diperhatikan waktu berpuasanya. Tentu setiap daerah bahkan negara memiliki durasi waktu berpuasa yang berbeda-beda. Perlu pengawasan dan penyesuaian pada kebiasaan setempat saja,” tutur Aisah Dahlan yang akrab disapa Bunda.

Bagaimana Puasa Memengaruhi Otak?

Beberapa anggapan menyebutkan bahwa puasa dapat meningkatkan stres. Namun, menurut Aisah, justru sebaliknya—puasa dapat meningkatkan kebahagiaan dan ketenangan jika dilakukan dengan niat yang benar.

Saat seseorang berpuasa dengan penuh kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah, bagian tengah otak yang disebut hipotalamus akan merangsang produksi hormon dopamine, yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan.

Selain itu, kelenjar pituitari juga menghasilkan hormon endorfin, yang memberikan rasa nyaman dan tenang. Akibatnya, tubuh menjadi lebih rileks dan jauh dari stres. Sebaliknya, jika seseorang berpuasa hanya karena kewajiban tanpa memahami maknanya, ia bisa mengalami stres.

“Jadi, puasa bukan hanya ikut-ikutan saja, tapi siap secara spiritual dan dibarengi dengan ilmu kesehatan. Sehingga ketika berpuasa, seseorang akan menjalankannya dengan teratur, mulai dari sahur sampai buka puasa. Tidak menyebabkan GERD atau stres berlebihan. Lalu mengatur apa yang dikonsumsi. Tak berlebihan dan kekurangan,” jelas Aisah.

Ketika seseorang berpuasa dengan terpaksa, kelenjar adrenal akan bekerja menghasilkan hormon adrenalin, kortisol, dan norepinefrin yang menyebabkan stres fisik dan emosional. Membuat kerja jantung berdegup lebih kencang dan produksi asam pada lambung meningkat.

Ramadan: Momentum Menyucikan Diri

Bulan Ramadan bukan sekadar bulan berpuasa, tetapi juga waktu yang tepat untuk menyucikan diri, baik secara fisik maupun spiritual.

Aisah menekankan bahwa seseorang yang berpuasa dengan pemahaman yang baik akan merasakan kebahagiaan, karena ia merasa semakin dekat dengan Allah.

“Mengapa menjadi bahagia? Karena kita telah menyucikan diri, mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Seseorang yang berpuasa dengan berbekal ilmu akan berbeda dengan seseorang yang berpuasa dengan keterpaksaan,” jelasnya.

Ramadan dapat menjadi bulan di mana seorang umat menyegarkan jiwa dan raga. Aisah berpesan, sebagai muslim kita tak boleh berhenti untuk belajar. Elaborasi antara ilmu keagamaan serta ilmu-ilmu lainnya merupakan suatu keniscayaan. Agar umat manusia dapat berkehidupan dengan baik dan membawa keberkahan.

“Mengapa saat bulan Ramadan banyak kajian-kajian? Karena memang ini momentum yang baik untuk memicu kita untuk terus belajar. Apa pun bidangnya, itu bermanfaat. Satu lagi, jika kita siap secara spiritual dan keilmuan, maka berpuasa pada bulan Ramadan bukan suatu siksaan, melainkan keberkahan,” pungkasnya.

Oleh: Hany Fatihah Ahmad

LEAVE A REPLY