Oleh: Wayan Supadno (Praktisi Pertanian)
ZNEWS.ID JAKARTA – Di Hokkaido, Jepang, indeks luas sawah petani tercatat semakin besar dari tahun ke tahun, begitu juga di Korea Selatan. Hal itu terjadi karena kebijakan pada industri agro ruas hilir berjalan sebagaimana mestinya.
Tujuannya tidak lain agar petani pangan bisa sejahtera, lalu tetap betah bertani memproduksi pangan untuk bangsanya. Mereka menyadari dengan sangat bahwa syarat mutlak agar petani sejahtera, maka harus punya lahan yang luas.
Dua negara itu bisa menjadi teladan yang baik bagi Indonesia agar indeks kepemilikan sawah tidak terus menurun seiring alih fungsi lahan karena laju pertumbuhan penduduk.
Tercatat indeks kepemilikan sawah di Indonesia ada kecenderungan menurun signifikan dari yang semula 3 ha/KK, sekarang tinggal 0,25 ha/KK. Itu pun jumlahnya semakin banyak.
Sensus Pertanian 2013 mencatat ada 14,3 juta KK, tahun 2023 ada 16,68 juta KK. Hal itu, salah satunya terjadi karena proses industri manufaktur belum berjalan dengan optimal. Sementara, alih fungsi lahan terus berjalan.
Padahal, pada prinsipnya secanggih apapun teknologinya jika luas sawah hanya 0,3 ha, maka akan sulit untuk mengalahkan produktivitas dari luas 30 ha/KK. Apalagi jika sama-sama menanam padi, jagung, kedelai, maupun palawija.
Penting dicatat, jika hanya 0,25 ha/KK untuk menanam padi, jagung, dan kedelai, mustahil laba yang didapat bisa di atas Rp1,5 juta/bulan/KK. Ini ekonometrikanya.
Artinya, sangat sulit untuk membuktikan kalau ada yang menjanjikan petani akan makmur sejahtera dengan lahan 0,25 ha/KK, meskipun ada kepastian pasar atau off taker sejenis contract farming atau mekanisasi.