
Oleh: Dr Ahmad Zainul Hamdi MAg (Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam Kemenag)
ZNEWS.ID JAKARTA – Selain putus cinta, saya pernah memiliki perasaan sedih yang hingga membawa saya menangis dalam sujud. Kesedihan itu begitu mendalam hingga semesta tampak sangat kelam. Matahari tiba-tiba mati. Udara entah ke mana hingga setiap hirupan napas yang terasa hanya menyesakkan dada.
Kesedihan yang teramat kelam itu terjadi di tahun 1991, saat saya tidak diterima di IKIP Negeri Malang. Kegagalan itu sungguh melukaiku. Kegagalan itu terasa menutup seluruh masa depanku, bahkan hidupku. Detik demi detik dalam seluruh persiapan dan saat tes masuk, hanya ada satu cita-cita termegah: menjadi guru Bahasa Indonesia.
Ketika keputusan itu diumumkan dan namaku tidak di sana, bisa kamu bayangkan kehancuran hatiku? Aku berwudu, salat, dan menangiskannya pada Tuhanku. Bukan tangis berserah, lebih banyak protes dari hamba yang tak berdaya.
“Ya Allah, aku tak minta banyak, aku hanya ingin jadi guru Bahasa Indonesia. Mengapa Engkau tidak menolongku, ya Allah. Mengapa…huhuhu”
Sekalipun begitu, dalam kesedihan dan kelukaan, kegagalan itu tidak pernah mematahkanku. Aku mempersiapkan diri untuk ikut tes masuk IAIN Sunan Ampel Malang. Aku diterima. Senang. Bersyukur.
Di sana, aku menenun masa-masa mahasiswa: kuliah, diskusi, organisasi, demonstrasi, nonton, ngeband, dan tentu saja pacaran. Semua aku lakukan dengan sungguh-sungguh. Dari ini semua aku arungi sungai kehidupan. Mengalir bersama airnya.
Apa yang ingin aku sampaikan adalah pesan Allah dalam surah Al-Baqarah 216, yang artinya, “Bisa jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal ia baik bagimu. Bisa jadi engkau menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”