Ilustrasi orang tua. (Foto: Shutterstock)

Oleh: Dr Ahmad Zainul Hamdi MAg (Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam Kemenag)

ZNEWS.ID JAKARTA – Seperti biasa, di atas podium, suaranya selalu menggelegar. Tekanan-tekanannya tegas. Tapi, kali ini, entah mengapa saya merasakan kelembutan seorang anak di balik gelegar gunturnya.

Di hadapan 29.069 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPPK) Kementerian Agama Republik Indonesia yang tengah suka ria karena penantian panjangnya untuk menjadi pegawai pemerintah akhirnya terkabul, Gus Menteri, Gus Yaqut Cholil Qoumas, memberi nasihat yang menyentuh hati.

Setelah menasihati para pegawai PPPK agar bersyukur kepada Allah, Tuhan yang Mahaesa, beliau mengingatkan agar mereka berterima kasih juga kepada Presiden Joko Widodo. Bagaimanapun juga, pengangkatan para tenaga honorer yang sekian puluh tahun terlunta-lunta tanpa kepastian masa depan pada akhirnya terselesaikan karena kebijakan yang diambil Presiden.

Banyak kisah di belakang ini semua. Ada suami yang merasa pekerjaannya di kantor tidak dihargai dan akhirnya membuka warung kopi karena gaji bulanan yang jelas-jelas hanya bisa mencukupi kebutuhan beberapa hari.

Ada seorang kakak yang menanggung pendidikan adik-adiknya. Dia hanya bisa memendam tangisan dan melangitkan doa-doa agar kelak bisa mendapatkan SK pengangkatan sehingga mendapatkan gaji yang mencukupi.

Ada seorang istri yang harus menghidupi dua putrinya yang masih kecil karena suaminya hanya meminta layanan sambil menceramahi si istri dalil-dalil ancaman bagi istri yang tidak taat pada suami, tapi tak pernah mendidik dirinya tentang kewajiban suami untuk menafkahi keluarga.

Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kisah sedih itu akhirnya meledak menjadi kebahagiaan. Penantian yang melelahkan itu berbuah tangis kebahagian yang berbaur dengan semringah di wajah karena beban di pundak terasa ringan tiba-tiba.

Kemudian, kepada mereka yang sedang bahagia itu, Gus Menteri menasihati agar segera “menemui” orang tua. Jika tempat tinggal orang tua jauh, beliau meminta, “Jangan hanya kirim pesan tertulis. Teleponlah! Jika memiliki paketan yang cukup, video call!”

Kalimat ini dinyatakan berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Saya yang hanya datang sebagai undangan, tiba-tiba kangen pada ibu. Saya video call ibu. Ketika beliau tanya, ‘ada apa?’, saya katakan, ‘Kulo (saya) kangen ibu’.

LEAVE A REPLY