Ilustrasi jemaah haji. (Foto: Antara/Imam Hanafi)

Oleh: Ishaq Zubaedi Raqib  (MCH Daker Makkah Al Mukarramah)

ZNEWS.ID JAKARTA – Apakah para jemaah haji khawatir setelah menyimak berita meningkatnya suhu bumi? Apakah mereka masygul karena puluhan nyawa meregang di sejumlah negara akibat terjangan gelombang panas?

Apakah para tamu Allah cemas setelah tahu suhu di dua Tanah Suci–Madinah dan Makkah, berada di atas rata-rata suhu Tanah Air? Apakah mereka was-was akan akibat sengatan langsung matahari tanah Arab yang bisa membuat kulit meranggas dan melepuh?

Tidak! Mereka tidak mencemaskan rasa khawatir, rasa masygul, dan rasa was-was. Yang mereka cemaskan adalah rasa cemas berlebihan karena cemas tidak dapat berasyik-masyuk dengan Sang Tuan Rumah. Cemas berlebih sering membuat kita jatuh pada rasa takut dan putus asa.

Kenapa? Sebab kita cuma sebutir zarah di antara jutaan tamu Sang Raja Diraja. Ingin rasanya berlari kepada-Nya. “Fafirru Ilallah–Maka larilah kalian kepada Allah.” Firman itu menderung.

Sejujurnya, para jemaah haji datang ke Tanah Haram dengan hati yang telah diharamkan bertahta sifat buruk di dalamnya. Hati yang tiba di Tanah Suci adalah hati yang bertatahkan kalimat-kalimat suci dari firman suci, sabda suci dan munajat suci para kekasih Tuhan.

Sejak janji-janji suci diucapkan dalam alam “alastu”– alastu birabbikum (Bukankah Aku ini Tuhan kalian? (QS Al A’raf: 62). Lalu kita menjawab, “Balaa Syahidnaa–Benar (Engkau Tuhan kami). Kami bersaksi.”

Qur’anic Healing

Minggu, 26 Mei atau 18 Zulkaidah. Jelang apel rutin. Kami berjalan beriring dengan Kepala Daker Makkah Al Mukarramah, KH Khalilurrahman. Di bagian dalam pintu, kami bertemu konsultan ibadah, KH. Miftah Faqih.

Kiai Khalil–NU tulen dan aseli Betawi, melempar kelakar. “Salut. Konsultan ibadah tahun ini, tusinya berkembang. Kagak soal kaifiyat haji doang tapi juga kesehatan ruhani. Ada quranic healing-nya.” Kiai Miftah ( ghairu akhyar; pilihan kata dari Kiai Miftah Faqih) melempar tawa.

Kata-kata Kiai Khalil laksana pemantik. Raut wajah Kiai Miftah menyala. Dan, ia pun berkisah. Kisah seorang jemaah asal Kenjeran, Surabaya.

LEAVE A REPLY