JAKARTA – Ketentuan orang yang berhak menerima sedekah berbeda dengan golongan penerima zakat. Sedekah dapat diberikan kepada siapapun yang membutuhkan.
Lalu, siapa orang yang berhak menerima sedekah kita dan bagaimana urutannya?
1. Keluarga atau Sanak Famili
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab menyatakan bahwa ulama telah sepakat bersedekah kepada sanak famili lebih utama sebelum kepada orang lain.
أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْأَقَارِبِ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ وَالْأَحَادِيثُ فِي الْمَسْأَلَةِ كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ
Artinya: “Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak famili, kerabat lebih utama daripada sedekah kepada orang lain. Hadis-hadis yang menyebutkan hal tersebut sangat banyak dan terkenal.”
Salah satu hadis yang dijadikan landasan oleh Imam Nawawi adalah hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Said al-Khudri yang artinya sebagai berikut:
“Suatu ketika Rasulullah keluar menuju masjid untuk menegakkan ibadah salat Idul Adha atau Idul Fitri. Setelah selesai salat, beliau menghadap kepada umatnya, menyampaikan nasihat khotbah kepada masyarakat dan memerintahkan untuk bersedekah.
Wahai para masyarakat. Bersedekahlah! (Pesan Nabi).
Lantas, ada beberapa wanita yang terlihat oleh Nabi.
Beliau menyampaikan, ‘Wahai para wanita, bersedakahlah! Karena saya melihat mayoritas wanita merupakan penghuni neraka!’
Para wanita tadi terheran, dan bertanya balik kepada Nabi, ‘Kenapa harus bersedekah, ya, Rasul?’
Rasulullah menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan kufur nikmat kepada suami. Aku tidak pernah melihat seseorang yang pemikiran dan agamanya kurang mencukupi namun bisa menghilangkan kecerdasan laki-laki, kecuali hanya bisa dilakukan oleh para wanita, seperti kalian.’
Setelah Rasulullah berkhotbah di hadapan khalayak ramai, beliau bergegas ulang ke rumah. Setelah sampai rumah, Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud meminta izin untuk diperbolehkan masuk, sowan kepada Baginda Nabi. Beliau pun mempersilakan.
Ada yang memperkenalkan, ‘Ya, Rasulullah, ini Zainab.’
Rasulullah balik bertanya, ‘Zainab yang mana?’
‘Istri Ibnu Mas’ud.’
‘Oh, ya, suruh dia masuk.’
Zainab mencoba berbicara kepada Nabi, ‘Ya, Rasul, tadi Anda memerintahkan untuk bersedekah hari ini. Ini saya punya perhiasan, saya ingin mensedekahkan barang milikku ini. Namun, Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira bahwa dia dan anaknya lebih berhak saya kasih sedekah daripada orang lain.’
Rasul kemudian menegaskan, ‘Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud itu. Suami dan anakmu lebih berhak kamu kasih sedekah daripada orang lain’.” (HR Bukhari)
2. Orang Terdekat
Orang yang berhak menerima sedekah setelah keluarga sendiri adalah yang terdekat dahulu, baru orang lain. Rasulullah mengajarkan bahwa tidak boleh bersedekah kepada orang lain jika yang disedekahkan itu masih diperlukan sebagai nafkah hidup dirinya dan keluarganya.
Diriwayatkan dalam hadis Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda:
“Bersedekahlah engkau!
Seorang laki-laki bertanya, ‘Aku punya satu dinar.’
Nabi Muhammad menjawab, ‘Pergunakanlah itu untuk dirimu sendiri!’
Laki-laki itu bertanya, ‘Aku punya satu dinar lagi.’
Nabi menjawab, ‘Gunakanlah untuk istrimu!’
Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Aku punya satu dinar lagi!’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Gunakanlah untuk anak-anakmu!’
Kata laki-laki itu, ‘Aku masih punya satu dinar lagi!’
Nabi menjawab, ‘Gunakanlah untuk pelayanmu!’
Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Aku punya satu dinar lagi!’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Terserah kepadamu, engkau lebih tahu menggunakannya’.”
3. Anak yatim
Arti yatim dalam Islam merupakan seorang anak kecil (belum balig) yang ditinggal wafat oleh bapaknya, sedangkan ia belum mampu berdiri di atas kaki sendiri untuk menghadapi masa depannya.
Islam memperbolehkan membantu anak yatim yang telah balig (dewasa), akan tetapi statusnya bukan santunan yatim lagi. Misalnya, atas nama sumbangan anak-anak untuk keluarga tidak mampu. Ada anak yatim yang sudah dewasa, namun hidup serba kekurangan.