Oleh: Dr Ir Ladiyani Retno Widowati, MSc (Kepala BSIP Tanah dan Pupuk, Kementan) dan Dr Destika Cahyana SP MSc (Peneliti BRIN)
ZNEWS.ID JAKARTA – Lahan pertanian yang subur dan produktif sesungguhnya aset bernilai ekonomi tinggi. Tanah subur bisa berasal dari sifat asal tanah tersebut dan dapat pula hasil proses panjang pengelolaan tanah yang dilakukan dari generasi ke generasi. Sehingga, bukan produk instan.
Lahan transmigrasi yang sekarang agak subur hingga subur, misalnya, semula merupakan lahan bukaan yang produktivitasnya rendah, yang kemudian meningkat setelah dikelola puluhan tahun melewati musim tanam berkali-kali.
Dengan demikian, sawah irigasi teknis di Indonesia juga warisan dari nenek moyang puluhan tahun silam. Begitu pula ladang-ladang nan subur di lahan kering.
Pola dinamika kesuburan tanah pertanian memang unik karena di setiap lokasi spesifik. Pada lahan bekas hutan yang subur umumnya tanah bukaan baru produktivitasnya tinggi, tetapi kemudian menurun jika tidak ditambahkan input pupuk organik dan anorganik dari luar.
Produktivitas lahan bukaan baru kembali meningkat setelah adanya tambahan pupuk dari luar yang diberikan pada musim-musim berikutnya.
Sebagian besar lahan bukaan baru memang sejak awal kurang subur karena lahan yang dibuka tergolong suboptimal. Lahan ini dengan budi daya yang baik, telaten dan dijaga tingkat kesuburannya, akan mempunyai produktivitas sedang hingga tinggi setelah belasan tahun pengelolaan dengan campur tangan manusia.
Percepatan peningkatan kesuburan dengan penerapan inovasi dan teknologi dapat memangkas waktu dari belasan tahun menjadi 2-3 tahun.
Pada konteks ini, hasil yang buruk di musim tanam pertama pada lahan suboptimal bukanlah kegagalan mutlak, tetapi sebuah proses mendapatkan informasi pembatas dan kendala pertumbuhan untuk meningkatkan produktivitas.