Ilustrasi Idulfitri, Halal-Bihalal, dan Ketupat: Sebuah Catatan Budaya. (Foto: Shutterstock)

Oleh: Syafi’i (Kepala Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama pada BMBPSDM Kemenag)

ZNEWS.ID JAKARTA – Ketika hilal bulan Syawal sudah terbit, pertanda Idulfitri telah datang menghampiri. Idulfitri menandakan berakhirnya bulan Ramadan yang di dalamnya ada kewajiban menjalankan puasa bagi orang yang beriman.

Puasa sebulan lamanya adalah media untuk mengembalikan manusia kepada jati dirinya. Ketika sebulan telah berhasil dilaluinya, maka orang yang berpuasa berhak untuk merayakan kemenangan akan kembalinya jati diri manusia kepada fitrahnya, yaitu manusia yang bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral.

Acapkali belenggu duniawi dan hasrat insani menutup, mengaburkan, dan membelokkan fitrah manusia yang menjauhkannya dari Tuhannya. Oleh karena itu, ketika puasa dijalani dengan kesungguhan (imanan wa ihtisaban), tersingkaplah tirai antara dirinya dengan Tuhannya sehingga jarak keduanya menjadi sangat dekat (Wa idzâ saalaka ‘ibâdî ‘annî fa innî qarîb/QS Al-Baqarah: 186).

Puncak dari fitrah ketuhanan adalah bertakbir, sebuah deklarasi akan keagungan Tuhan, Allah. Tidak ada yang besar melainkan Allah, sedangkan alam semesta, termasuk manusia, hanyalah makhluk rendah di hadapan-Nya. Tetapi, seringkali ego manusia membuatnya merasa besar dan melupakan keagungan Tuhannya.

Ketika manusia telah melakukan proses penyucian diri dan kembali ke fitrahnya melalui puasa dia tersadar kembali bahwa yang Mahabesar itu Tuhan, Allah, sedangkan dirinya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa di hadapan-Nya. Segala atribut yang melekat padanya (harta, ilmu, pangkat, jabatan, dll.) hanyalah semu yang bisa lenyap kapan saja dan tidak bersisa.

Anehnya, atribut semu itu bagi banyak orang dapat meninggikan egonya, menutup fitrahnya. Puasa adalah jalan untuk mengembalikan fitrah. (Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan [hari-hari di bulan Ramadan untuk berpuasa] dan hendaklah kamu mengagungkan Allah [dengan bertakbir] atas petunjuk yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur/QS Al-Baqarah: 185).

Oleh sebab itu, siapa yang berhasil mengembalikan fitrahnya, layak untuk merayakannya (Idulfitri, perayaan kembali kepada fitrah). Minal ‘Âidîn (termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah penciptaan: bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral) wal Fâizîn (termasuk orang-orang yang beruntung karena dapat menaklukkan nafsu) wal Maqbûlîn (dan termasuk orang yang diterima doanya karena dekatnya hubungan spriritual orang yang telah berpuasa dengan Tuhannya. Lihat QS Al-Baqarah: 186).

Islam Agama Damai

Islam adalah agama yang membawa pesan damai. Dalam bahasa Arab Islam berasal dari akar kata s-l-m yang bermakna damai, selamat, dan berserah diri. Islam mengajarkan totalitas penyerahan diri kepada sang Khalik.

Dengan penyerahan diri tersebut membawa kedamaian dan mengantarkan kepada keselamatan. Kedamaian merupakan dambaan dari setiap manusia sebagai makhluk sosial untuk menjamin aktivitas dapat berlangsung secara aman dan nyaman.

Manifestasi pesan damai agama ini dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat/bangsa dengan masyarakat/bangsa lainnya. Masyarakat Indonesia dikenal memiliki kearifan lokal dalam mengimplementasikan pesan-pesan agama. Salah satunya adalah pesan damai dalam agama yang ada pada tradisi Halal Bihalal.

Menurut sebagian sumber, Halal Bihalal diperkenalkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU, pada tahun 1948. Istilah Halal Bi Halal meskipun berasal dari bahasa Arab, anehnya tidak dijumpai dalam morfologi Arab.

Ini istilah khas Indonesia dalam diksi Arab. Secara sederhana berarti halal dengan halal, saling menghalalkan. Dalam konteks interaksi sosial dimaknai saling mengikhlaskan dan memaafkan kesalahan satu dengan lainnya.

Istilah itu muncul didorong oleh keinginan Bung Karno untuk meng-guyubrukun-kan kembali para tokoh politik yang tengah berseteru. Bung Karno meminta saran kepada KH Abdul Wahab Hasbulloh yang kemudian dicetuskanlah gagasan untuk mengadakan silaturahmi setelah Idulfitri dengan harapan di forum tersebut para tokoh saling menghalalkan, memaafkan satu sama lain, Halal Bihalal. Tradisi ini terus berkembang sampai sekarang.

Pesan Idulfitri

Jauh sebelum tradisi Halal Bihalal sebagai even silaturahmi pasca-Idulfitri dengan tujuan untuk membangun kebersamaan dan kerukunan, sesuai dengan karakternya, masyarakat Indonesia sudah memiliki tradisi untuk saling mengunjungi antar tetangga, keluarga, sanak saudara, dan kolega setelah menunaikan salat Idulfitri. Anak kepada orang tua, murid kepada guru, yang muda kepada yang lebih tua, untuk saling memaafkan dan dibumbui dengan menyantap hidangan.

Ini bukan bagian dari syariat agama, tetapi sudah pasti ini adalah budaya luhur dalam memaknai pesan agama. Agama menganjurkan agar menebarkan salam, maka mereka bermurah senyum dan berlapang dada untuk menyapa dan memberi salam kepada siapa saja.

Agama mengajarkan untuk menyambung silaturrahim, maka mereka berkunjung kesana kemari dengan membawa satu pesan, yaitu pesan damai, saling memaafkan, tidak ada lagi bermusuhan.

Agama mengajarkan untuk memberi makan, maka mereka berlomba memenuhi meja tamunya dengan hidangan aneka rupa dan mempersilakan siapa saja yang datang untuk menyantapnya. Tidak ada kemurahan secara kolektif melebihi kemurahan yang ditunjukkan dalam adegan Idulfitri.

Ini mengekspresikan rasa syukur setelah sebulan berpuasa dan telah terbukanya tirai dirinya dengan Tuhannya, tirai dengan sesama manusia juga harus disingkapnya, tidak boleh lagi ada rasa permusuhan dan ego yang membatasi diri dengan lainnya. Wujud dari hilangnya permusuhan dan pertengkeran di antara sesama dirayakan dengan menikmati makanan bersama.

Dari Abdullah bin Salam, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR At-Tirmidzi)

Ketupat dan Makna Simboliknya

Hidangan yang paling populer pada perayaan hari Raya Idulfitri tidak lain adalah ketupat. Idulfitri identik dengan ketupat. Dalam semua bentuk dekorasi Idulfitri, ketupat sangat mendominasi.

Dalam bahasa Jawa, ketupat dinamakan kupat (tanpa sisipan “et” antara huruf “k” dan “u”). Sebagian pendapat mengatakan bahwa “kupat” merupakan akronim dari kata “ngaKU lePAT” atau mengakui salah. Jika demikian, maka ini sungguh menggambarkan tingkat kesadaran moral yang tinggi.

Pada umumnya seseorang tidak mau mengakui salah walaupun ia bersalah, karena alasan harga diri, gengsi, dan ego-ego yang menyelimuti keakuannya. Oleh karena itu, ketika seseorang mendeklarasikan dirinya bersalah dan siap meminta maaf, dia berada pada posisi moralitas tinggi, berbeda dari kebanyakan manusia.

Ciri-ciri orang yaitu bertakwa yaitu, antara lain, memberi maaf kepada orang lain (wal âfîn ‘an an-nâs/QS Ali Imran: 133). M. Qurash Shihab dalam memaknai redaksi ini berpendapat bahwa alasan orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, bukan meminta maaf, sebagai ciri orang bertakwa karena betapa susahnya berharap seseorang mengakui dirinya bersalah dan mau meminta maaf.

Alih-alih mengaku salah, yang terjadi seringnya mencari kambing hitam. Oleh karena itu, jika ada seseorang berani mengaku salah (ngaKU lePAT) dan meminta maaf atas kesalahannya, maka dia berada pada level moralitas tinggi. Tradisi Halal Bihalal menjadikan setiap orang mengaku bersalah (walaupun terkadang ini agak janggal) dan siap untuk meminta maaf atas kesalahannya.

Sudah semestinya puasa membawa kepada kesejatian manusia. Keluhuran budaya dan tradisi leluhur membantu kita memahami dan menyelami hakekat manusia sejalan dengan yang dikehendaki oleh Sang Khalik, yaitu menjadi orang-orang bertakwa. Apakah kita mau belajar darinya atau bahkan mencelanya dan menuduhnya sebagai bukan sunah, tetapi bidah? Semua kembali kepada kita.

Sumber: Kemenag

LEAVE A REPLY