
Oleh: Entang Sastraatmadja (Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)
ZNEWS.ID JAKARTA – Penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu maka banyak pemodal besar yang kemudian melirik untuk terjun menggarap bisnis tersebut.
Kondisi itu berdampak pada sulitnya penggilingan padi tradisional untuk bertahan hidup, karena harus bersaing dengan penggilingan padi berskala raksasa yang dikembangkan oleh pemodal besar.
Ketika persaingan tak seimbang mulai dirasakan pada konteks usaha penggilingan padi, keberpihakan pemerintah sangat diperlukan.
Sebagaimana disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perppadi), Sutarto Alimoeso yang menyampaikan, berhenti beroperasinya pabrik penggilingan padi tradisional, salah satunya disebabkan oleh adanya persaingan dengan pabrik penggilingan besar.
Fenomena itu mulai dirasakan dalam beberapa tahun terakhir ketika banyak pabrik penggilingan padi tradisional yang tumbang akibat tak mampu bersaing dengan hadirnya usaha yang sama dari pemodal besar.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pabrik penggilingan padi yang beroperasi dari tahun 2012 ke 2020 terlihat perbedaan yang sangat jelas. Pada tahun 2012 ada 180 ribu lebih pabrik yang beroperasi, pada tahun 2020 pabrik penggilingan padi yang beroperasi ada 169 ribu.
Hal ini sudah menunjukkan bahwa pasti ada usaha penggilingan padi tradisional yang tumbang, meskipun yang mati bukan hanya yang kecil, termasuk yang besar pun ada yang berhenti beroperasi.
Bila mencermati pemikiran Ketua Perppadi tersebut, jelas tersurat, penyebab utama tumbangnya penggilingan padi skala kecil di daerah karena adanya persaingan dengan penggilingan padi skala besar.
Dalam ilmu ekonomi, kalau terjadi persaingan antara yang besar dengan yang kecil, maka yang kecil biasanya akan sangat mudah terpinggirkan. Terlebih kalau yang besar ini ditopang oleh modal yang kuat.