Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. (Antara)

Oleh: Fikri Suadu (Dokter yang mendalami kajian neurosains. Menyelesaikan magister psikologinya di Universitas Indonesia, dan mendapatkan gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran dan Peradaban Islam di ISTAC IIUM Malaysia)

ZNEWS.ID JAKARTA – Nama Gibran Rakabuming Raka ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Ini tidak lepas dari polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan proses pencalonannya sebagai calon wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto yang oleh beberapa kelompok dianggap “cacat hukum”.

Jargon-jargon tentang politik dinasti dan ancaman terhadap demokrasi pun mulai bermunculan secara masif, sistematis, dan atraktif; terkesan ada yang mengorkestrasi.

Meskipun secara terang benderang putusan MK terkait sudah final, akan tetapi upaya untuk mendelegitimasi sosok Gibran tetap terus dilakukan. Tujuannya tentu saja untuk mengeliminasi dukungan dari pikiran pemilih dengan menggunakan isu politik dinasti dan ancaman terhadap demokrasi, dengan harapan publik bisa secara sadar dan rasional menilai bahwa putusan MK tersebut adalah keputusan yang salah dan dapat mengancam demokrasi.

Pertanyaannya adalah apakah upaya ini efektif dan ampuh?

Adalah Kumbakarna, saudara kandung Rahwana, sang raja Alengka dalam epos Ramayana. Diceritakan bahwa Kumbakarna, dalam posisinya sebagai “warga negara” Alengka sekaligus saudara kandung Rahwana, mengabaikan prinsip moral benar dan salah dalam memutuskan untuk membela Rahwana.

Kumbakarna memilih untuk melindungi saudara dan negaranya dari gempuran serangan Hanoman dan Rama, Raja Ayodya. Kumbakarna tak peduli perilaku bejat Rahwana yang menculik Sinta (istri Rama).

Bagi Kumbakarna, membela Rahwana dan Alengka adalah pilihan etis yang harus ditempuh demi menyelamatkan masa depan Alengka: hukum tertinggi adalah tentang keselamatan hidup. Membela kebenaran Rama untuk mengambil kembali Sinta sembari memerangi saudara kandung dan rakyat Alengka adalah pilihan yang salah secara etis.

BACA JUGA  Menanti Implementasi Makan Siang Bergizi Gratis Prabowo

Tidak ada kamus untuk membela kebenaran dengan cara mengorbankan kepentingan dan melukai perasaan kelompok kita sendiri. Jika membela kawan adalah kewajiban, maka membela saudara adalah keharusan.

Dari kisah Ramayana di atas bisa dipahami bahwa insting dan naluri pembelaan kita terhadap sesama anggota kelompok berdasarkan sentiment “identitas–komunitas” adalah nilai moral yang ditanamkan secara alamiah melalui prinsip evolusi.

Prinsip utama hukum evolusi adalah memastikan keselamatan dan masa depan “klan dan spesies” kita. Membela masa depan keluarga, klan, dan kelompok itu adalah kepentingan utama evolusi.

LEAVE A REPLY