
Oleh: Professor Ija Suntana (Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
ZNEWS.ID JAKARTA – Bumi yang kita huni sedang berjalan ke arah kehancuran dengan gerak super cepat. Lapisan ozon menipis, suhu bumi melonjak, es di kutub mencair, dan beberapa spesies punah dalam jumlah yang tak terkira.
Di tengah situasi ini, ada satu tawaran gagasan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yaitu ekoteologi. Sekalipun istilah ini agak asing bagi keumuman masyarakat, tapi maknanya sangat penting.
Ekoteologi berangkat dari pemahaman bahwa manusia bukanlah penguasa mutlak alam, melainkan bagian kecil dari keseluruhan ciptaan yang memiliki tanggung jawab (amanah) melestarikannya. Ekoteologi menempatkan alam bukan sekadar tempat tinggal manusia, tetapi juga “aras spiritualitas yang suci.”
Dunia ini adalah manifestasi kehendak Tuhan, maka menghancurkannya sama saja dengan menghina Penciptanya. Konsep ekoteologi menegaskan bahwa merawat alam (Bumi) adalah “menghormati Tuhan”, sekaligus memperpanjang umur dunia.
Ekoteologi tidak hanya bicara tentang menyelamatkan hutan atau membersihkan lautan, tetapi juga soal menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil. Dalam ekoteologi, merusak sungai, menghancurkan hutan, dan meracuni udara adalah dosa besar, begitu juga membuat lapar manusia.
“Menunda Kiamat”
Ekoteologi digagas untuk “menunda kiamat.” Tentu, istilah menunda kiamat terlalu tendensius dan kurang nyaman terdengar. Kita sudah kadung meyakini bahwa kiamat adalah sesuatu yang tak terhindarkan, bahwa semua ini sudah ditakdirkan untuk hancur.
Jika kiamat pasti akan datang, apakah tidak masuk akal kalau ada upaya untuk menundanya? Apakah kita tidak bisa menambah umur Bumi seratus, seribu, atau bahkan sepuluh ribu tahun lagi? Kita memberi dunia sedikit lebih banyak waktu untuk bernapas, untuk pulih, dan menemukan cara baru agar jagat raya ini dapat bertahan.
Banyak peradaban besar di masa lalu yang runtuh karena keserakahan ekologis. Kekaisaran Romawi kehilangan “dayanya” karena pengelolaan lahan yang buruk. Bangsa Maya mengalami kehancuran karena eksploitasi sumber daya air. Tanpa ekologi yang sehat, bahkan peradaban paling kuat pun akan tumbang.
Mungkin terdengar gila untuk berpikir bahwa kita bisa menunda kiamat. Namun, lebih gila lagi jika kita tidak melakukan apa-apa dan malah mempercepat kehancuran. Ekoteologi bukan hanya soal menyelamatkan alam, tetapi juga menyelamatkan keberlangsungan makan kita.
Upaya para Nabi
Para nabi datang silih berganti dengan pesan-pesan yang revolusioner, sekalipun tampak sederhana: jangan serakah. Pesan sederhana tersebut bukan sekadar tentang moralitas sosial, tetapi juga tentang keseimbangan ekologis.
Jika kita membaca kembali pesan-pesan para nabi dengan sudut pandang lingkungan, terlihat jelas bahwa mereka sesungguhnya bukan sekadar utusan Tuhan, tetapi juga aktivis lingkungan yang mencoba menunda kiamat dengan cara yang halus balutan spiritualitas.
Lihatlah kisah Nabi Nuh. Orang-orang pada zamannya dihancurkan oleh banjir bukan hanya karena dosa-dosa sosial, tetapi juga karena ketidakseimbangan sikap mereka terhadap alam. Mereka hidup dalam kerakusan dan melawan harmoni dengan ekosistem.
Di saat terjadi bencana banjir, Nabi Nuh tidak hanya diperintahkan untuk menyelamatkan manusia, tetapi juga setiap pasang spesies binatang. Ini bukan sekadar cerita penyelamatan hewan, tetapi simbol besar tentang bagaimana umat manusia seharusnya menjaga keanekaragaman hayati.
Nabi Ibrahim dan Ismail juga membawa pesan tentang konservasi. Kisah pengorbanan keduanya bukan hanya soal kepatuhan kepada Tuhan, tetapi juga refleksi tentang bagaimana manusia harus mengendalikan nafsunya, termasuk nafsu untuk menguasai alam tanpa batas. Bangsa-bangsa yang muncul setelahnya, seperti kaum Ad dan Tsamud, justru hancur karena keangkuhan mereka dalam mengeksploitasi terhadap alam.
Ada Nabi Musa yang membawa doktrin tahun sabat, di mana tanah harus dibiarkan beristirahat setiap tujuh tahun. Nabi Musa mengajarkan bahwa tanah pun memiliki hak untuk jeda dan bernapas.
Sementara itu, Nabi Isa datang dengan pesan yang lebih lembut tetapi tetap mengandung unsur ekologis yang kuat. Ia berbicara tentang burung-burung di langit yang dipelihara oleh Tuhan, tentang biji sesawi yang tumbuh dengan kekuatan ilahi, dan tentang pentingnya kesederhanaan hidup. Isa memahami bahwa dunia ini cukup untuk semua orang, asalkan manusia tidak serakah.
Adapun Nabi Muhammad datang dengan ajaran yang lebih jelas lagi tentang perlindungan lingkungan. Ia mengajarkan bahwa menanam pohon adalah sedekah yang pahalanya terus mengalir. Ia melarang menggunakakan air secara berlebihan, sekalipun atas nama untuk beribadah, seperti wudu.
Di saat melaksanakan ibadah haji, Nabi Muhammad mengharamkan orang-orang mengambil dedaunan dan memetik pepohonan apapun dan pelanggarnya dikenakan denda (dam). Sebenarnya, itu adalah ekoteologi dari utusan Tuhan untuk melindungi alam.
Dalam peperangan, Nabi Muhammad melarang penebangan pohon sembarangan atau perusakan sumber daya alam. Jika umat manusia benar-benar mengikuti ajarannya secara ekologis, mungkin kita tidak akan sampai pada titik di mana dunia harus berjuang melawan perubahan iklim yang brutal.
Namun, umat manusia yang beragama abai pada ajaran para nabi di atas. Kita beribadah dengan khusyuk tetapi tetap membuang sampah plastik ke laut. Kita berdoa meminta berkah tetapi tetap menebangi hutan. Kita meringis membaca kisah-kisah kehancuran kaum terdahulu tetapi melakukan dosa ekologis yang sama.
Mungkin saja kiamat belum terjadi karena pesan para nabi masih tersisa dalam hati beberapa orang yang masih peduli. Setiap pohon kita tanam, dan setiap tindakan kecil apapun untuk melindungi Bumi adalah perpanjangan dari usaha para nabi kita untuk “menunda kiamat.”