
ZNEWS.ID JAKARTA – Indonesia saat ini berada di peringkat ke-63 dari 113 negara dalam Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index, GFSI) dengan skor 60,2/100. Meski akses masyarakat terhadap pangan dinilai cukup baik, ketersediaan dan keberlanjutan pangan masih menjadi tantangan besar.
Salah satu kendala utama adalah sulitnya akses petani terhadap modal usaha. Berdasarkan Survei Ekonomi Pertanian 2024, sebanyak 81,52% petani di Indonesia tidak memiliki akses kredit, terutama karena prosedur yang kompleks. Selain itu, dukungan dari pemerintah masih terbatas, baik dalam aspek pendanaan maupun pengembangan riset pertanian.
Di tengah kondisi ini, lembaga filantropi hadir sebagai solusi alternatif untuk mendukung sektor pangan nasional. Meskipun demikian, keberlanjutan program filantropi juga menghadapi tantangan, seperti keterbatasan pendanaan jangka panjang serta kurangnya dukungan regulasi.

Kontribusi Lembaga Filantropi terhadap Ketahanan Pangan
Lembaga filantropi memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, lembaga filantropi bahkan berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam menjalankan berbagai program sosial.
Sementara di Indonesia, sebagian besar lembaga filantropi beroperasi secara mandiri, dengan mayoritas berbasis keagamaan, terutama Islam.
Secara historis, lembaga filantropi telah berkontribusi dalam menangani krisis pangan. Misalnya, pada masa Great Depression tahun 1930-an di Pulau Jawa, tingkat kemiskinan meningkat pesat, terutama di daerah perkotaan.
Saat itu, pemerintah belum memiliki sistem jaring pengaman sosial yang memadai, sehingga organisasi seperti Muhammadiyah turun tangan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, termasuk dalam penyediaan pangan.
Saat ini, lembaga filantropi Islam semakin berkembang dan lebih inklusif dalam menjalankan misinya. Bantuan yang diberikan tidak hanya berupa donasi langsung, tetapi juga mencakup pendampingan jangka panjang untuk memberdayakan masyarakat, khususnya di sektor pangan. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain:
- Pendampingan Petani: Memberikan pelatihan teknis, hibah usaha tani, serta investasi dalam infrastruktur pertanian.
- Modernisasi Tata Kelola Pertanian: Mengadopsi pendekatan berbasis komunitas dan inovasi teknologi pertanian.
- Program Desa Tani Dompet Dhuafa: Mengubah lahan kurang produktif menjadi area pertanian bernilai ekonomi tinggi di Jawa Barat. Program ini menyediakan lahan, bibit, serta pendampingan intensif kepada petani miskin. Sejak diluncurkan pada 2018, pendapatan petani meningkat hingga rata-rata Rp2,7 juta per bulan.
- Program Desa Kopi Solok Sirukam dan Sinjai: Mendukung petani kopi dengan modal usaha, pendampingan budidaya, serta pemasaran produk untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
- BUMMas-DesBer oleh Rumah Zakat: Mengembangkan pertanian berkelanjutan di desa melalui pendampingan dalam budidaya sayur-mayur dan produksi pupuk organik.
Melalui berbagai inisiatif ini, lembaga filantropi tidak hanya membantu menyediakan pangan bagi masyarakat, tetapi juga membangun sistem ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan.

Tantangan Keberlanjutan Program Filantropi
Meskipun berperan besar dalam ketahanan pangan, lembaga filantropi di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam keberlanjutan program, terutama dalam hal pendanaan jangka panjang.
Mayoritas donatur di Indonesia cenderung lebih memilih memberikan bantuan langsung (relief) dibandingkan mendukung program berjangka panjang.
Hal ini terlihat dari Survei Nasional Zakat 2004-2005 yang menunjukkan bahwa 93% pemberi zakat lebih memilih menyalurkannya langsung kepada penerima (mustahik) daripada melalui lembaga filantropi. Hingga kini, belum ada survei nasional terbaru yang mengkaji perubahan tren dalam pola donasi masyarakat.
Untuk mengatasi keterbatasan dana, filantropi korporasi atau Corporate Social Responsibility (CSR) bisa menjadi solusi. Di beberapa negara, perusahaan turut aktif dalam kegiatan amal, tidak hanya dalam bentuk dana, tetapi juga melalui dukungan sumber daya dan layanan kepada masyarakat.
Di Indonesia, beberapa perusahaan telah menerapkan konsep serupa, baik dengan menyalurkan dana CSR melalui lembaga internal maupun menjalankan program sosial independen. Jika kolaborasi antara perusahaan dan lembaga filantropi dapat diperkuat, maka dampak sosial yang dihasilkan bisa lebih luas.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah regulasi yang belum mendukung perkembangan filantropi secara optimal. Aturan yang mengatur kegiatan filantropi masih merujuk pada Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan, yang tengah dibahas di parlemen, juga belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Regulasi yang lebih fleksibel dan adaptif, terutama terkait filantropi digital, sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan sektor ini.
Lembaga filantropi telah membuktikan perannya bukan hanya sebagai penyedia bantuan, tetapi juga sebagai katalis perubahan sosial yang berkelanjutan. Dengan dukungan regulasi yang lebih berpihak dan kemitraan yang lebih erat dengan sektor korporasi, filantropi dapat semakin berkontribusi dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.
Transformasi sosial yang berkelanjutan membutuhkan sinergi antara berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil. Jika kolaborasi ini terus diperkuat, Indonesia dapat membangun sistem pangan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan di masa depan.