
“Memangnya jihad di jalan Allah itu hanya yang terbunuh (dalam perang) saja? Siapa yang bekerja untuk menghidupi orang tuanya, maka dia di jalan Allah, siapa yang berkerja menghidupi keluarganya, maka dia di jalan Allah, tapi siapa yang bekerja untuk bermewah-mewahan (memperbanyak harta) maka dia di jalan thaghut.”
(HR Thabrani)
ZNEWS.ID JAKARTA – Mengapa harus minder jika kita banyak menghabiskan waktu untuk mencari nafkah? Selama dalam koridor pekerjaan halal dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sungguh hal ini bisa termasuk jihad di jalan Allah.
Sayangnya, banyak yang salah paham mengenai hal ini, bekerja keras dianggap sebagai bentuk cinta dunia. Tentu saja hal ini bisa dibenarkan jika hasil jerih payah pekerjaan kita hanya habis untuk berfoya-foya dan bermaksiat pada Allah.
Akan tetapi, jika kita menggunakan hasil kerja untuk memberi makan anak-istri, orang tua, karib kerabat, serta menjadikan keluarga kita terjauh dari sifat meminta-minta dan mengemis pada orang lain, sungguh bekerja merupakan hal yang mulia.
Ketika bekerja, tentu saja kita mendayagunakan segala keterampilan yang dimiliki untuk memberi manfaat, minimal bermanfaat untuk perusahaan.
Namun, jangan berhenti sampai di sana, bekerjalah dengan kontribusi terbaik, bekerja sepenuh hati bukan sekadar sepenuh gaji. Karena, sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang profesional dan bekerja keras dengan keterampilan yang dimiliki tersebut.
“Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (profesional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (HR Ahmad)
Dalam Islam, mencari nafkah yang halal merupakan salah satu kewajiban setiap muslim, sebagaimana salat lima waktu, berpuasa, dan berzakat.
“Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardu (seperti salat, puasa, dan lain-lain).” (HR Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)