
Oleh: Thobib Al Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag)
ZNEWS.ID JAKARTA – Agama adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia menyentuh batin paling dalam dan memberi arah perjalanan hidup. Namun, pada praktiknya, selalu ada pihak yang memanfaatkan agama demi kepentingan pribadi, bisnis, atau ideologi tertentu.
Salah satu contohnya adalah dengan menyisipkan unsur klenik ke dalam ajaran agama agar lebih mudah menarik kepercayaan masyarakat. Kasus “penyalahgunaan” agama untuk kepentingan apapun sudah lama terjadi. Setua usia agama itu sendiri.
Saya teringat kritik keras para filosof Barat terhadap agama, seperti Friedrich Nietzsche yang mengatakan “God is dead”. Nietzsche tidak bermaksud secara harfiah bahwa Tuhan telah mati, tetapi ia ingin mengatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan tradisional dalam masyarakat modern telah kehilangan pengaruhnya.
Sebagian besar kritik Nietzsche terhadap agama, terutama Kekristenan (saat itu dan juga terjadi pada Islam), berpusat pada pandangannya bahwa agama telah menyimpang dari peran aslinya dan justru melemahkan manusia.
Ia melihat agama sebagai sesuatu yang menekan insting dan kreativitas, mendukung moralitas budak, dan mengandalkan dogma dan menghambat pemikiran bebas, serta mengajarkan harapan palsu.
Demikian juga Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis yang terkenal dengan kritik pedasnya kepada orang-orang beragama. Menurutnya, orang beragama adalah mereka yang memiliki problem neurosis.
Agama dianggap sebagai proyeksi psikologis pada kebutuhan manusia. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah “ayah” ideal, diciptakan manusia untuk mengatasi kecemasan dan ketidakpastian hidup.
Apa yang digambarkan Nietzsche dan Freud, faktanya, terus terjadi di masyarakat. Banyak orang menjadikan agama sebagai tempat pelarian.
Tidak heran lalu muncul kasus-kasus seperti guru atau tokoh agama melakukan pelecehan seksual, seorang Dimas Kanjeng yang mengaku bisa menggandakan uang, Embah Suro yang dianggap memiliki kesaktian, serta berbagai aliran nyeleneh atas nama agama, dan lain-lain.
Para pelaku umumnya mengklaim memiliki ilmu spiritual atau kemampuan gaib yang bisa mendatangkan manfaat bagi pengikutnya. Banyak orang tertipu karena keyakinan bahwa mereka benar-benar memiliki kekuatan khusus, padahal sering kali itu hanya manipulasi psikologis.
Psikolog Robert H. Thouless memandang, fenomena semacam ini bisa dijelaskan dengan psikologi sugesti. Sugesti adalah proses di mana seseorang menerima suatu gagasan hingga ia meyakini dan bertindak berdasarkan gagasan tersebut.
Dalam hipnotisme, seorang tukang hipnotis bisa membuat seseorang percaya pada sesuatu yang sebetulnya tidak nyata. Dalam praktik klenik, pemimpin spiritual atau dukun berkedok agama memanfaatkan sugesti untuk membangun keyakinan dalam diri pengikutnya.
Mereka menciptakan persepsi bahwa mereka memiliki kekuatan gaib atau bisa mendekatkan seseorang dengan Tuhan. Psikologi agama melihat bahwa sikap dan tingkah laku manusia dalam beragama bisa dipengaruhi oleh faktor psikologis, termasuk sugesti.
Thouless mengatakan bahwa sugesti bisa digunakan untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan keagamaan. Dalam konteks yang benar, ini bisa menjadi alat dakwah yang positif. Namun, dalam konteks yang salah, ia menjadi alat manipulasi.
Fenomena penyimpangan ini akan terus ada selama masih banyak orang yang mudah percaya tanpa kritis. Apalagi belakangan yang ramai dibincang terus di media sosial.
Ada sekelompok orang yang terus mengagung-agungkan nenek moyangnya dengan keutamaan spiritual yang berlebihan. Bahkan klaim sanak keturunan Nabi yang tidak bisa dibuktikan secara saintifik, sehingga menimbulkan prasangka.
Jadi, agama sering kali dijadikan alat karena menyangkut keyakinan manusia yang paling dalam. Oleh karena itu, pendidikan agama yang benar dan berguru kepada mereka yang bersanad menjasi sangat penting.
Dengan pemahaman keagamaan yang baik, masyarakat bisa membedakan mana ajaran agama yang benar dan mana yang hanya tipu daya berkedok spiritualitas. Wallahu a’lam.
Sumber: Kemenag